Teknik Fasilitasi dalam Perundingan

27 Januari 2023

Dalam kerja-kerja organisasi yang melibatkan multi pihak termasuk juga dalam kerja penanganan konflik, fasilitasi, diskusi serta perundingan merupakan hal yang biasa dilakukan termasuk di CRU. Agar berjalan tertib, lancar dan terarah pada tujuannya, suatu diskusi dan juga perundingan biasanya dipandu oleh seorang fasilitator. Fasilitator tersebut akan membantu mengawal diskusi agar tetap terarah dengan menjaga kelancaran komunikasi dan memastikan para peserta saling menghormati gagasan dan tertib dalam berdialog. Dalam berorganisasi, kita sering menggunakan jasa fasilitator atau bahkan justru kitalah yang didapuk sebagai fasilitator dalam diskusi-diskusi organisasi.

Dalam menjalankan perannya, seorang fasilitator kerap menggunakan berbagai teknik fasilitasi, seperti mendengarkan secara aktif, mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka, meminta klarifikasi, curah-pendapat (brainstorming)diskusi kelompok dan pleno, bermain peran dan simulasi (role play), pemetaan pikiran (mind-mapping), pemecahan masalah (problem solving), penyepakatan aturan main, permainan bina-suasana (ice-breakerdan energizer), dan sebagainya. 

Penggunaan pilihan teknik fasilitasi di atas juga perlu disesuaikan dengan  tujuan diskusi itu sendiri.  Misalnya jika jika tujuan diskusi adalah untuk melakukan perencanaan strategis organisasi, mungkin diperlukan seorang fasilitator menggunakan permainan bina-usaha untuk mencairkan suasana di sela-sela sesi diskusi. Sedangkan jika diskusi dilakukan dalam rangka perundingan penyelesaian konflik, biasanya penyepakatan aturan main perundingan menjadi agenda untuk didiskusikan tersendiri oleh para pihak yang difasilitasi oleh seorang mediator. 

Terkait dengan penyelesaian konflik, dapat dikatakan bahwa proses mediasi merupakan serangkaian diskusi yang terarah pada upaya penyelesaian konflik dan seorang mediator berperan untuk memfasilitasi diskusi antara para pihak untuk mencari jalan keluar dari konflik yang mereka hadapi. Karena itu bisalah kita mengatakan bahwa seorang mediator hendaknya menguasai keahlian memfasilitasi perundingan.

Namun demikian, apakah memfasilitasi perundingan dalam mediasi sama dengan memfasilitasi diskusi pada umumnya? Fasilitator maupun mediator keduanya sama-sama merupakan pihak ketiga di luar para pihak yang berkepentingan  yang berperan dalam merancang, memandu dan menjaga kelancaran suatu diskusi.  Lalu dimana perbedaannya?

Dalam  konteks penanganan konflik, kemampuan mediator untuk memfasilitasi perundingan antar para pihak akan menentukan kualitas hasil kesepakatan. Dimana seorang mediator bertanggung jawab membangun proses yang kondusif untuk para pihak bisa berdialog sejak awal proses mediasi. Singkatnya, jika mediator tidak mampu untuk membangun proses diskusi yang kondusif tersebut maka bisa jadi hasil kesepakatan yang dihasilkan bukan merupakan solusi penanganan konflik yang tepat. Ini hal lain lagi yang membedakan dengan proses diskusi pada umumnya. Seringkali dalam proses penanganan konflik, membangun suasana dimana para pihak dapat saling menghormati keberadaan dan gagasan pihak lainnya merupakan suatu pekerjaan tersendiri sebelum perundingan dimulai. Hal seperti ini, tidak selalu harus dihadapi oleh fasilitator.

Oleh karenanya sangat penting bagi seorang mediator untuk menguasai kemampuan dan kecakapan memfasilitasi perundingan yang peka terhadap upaya penyelesaian konflik yang sedang dibangun.

Sebagai contoh, dalam diskusi pada umumnya pengaturan posisi duduk para peserta mungkin hanya mempertimbangkan kelancaran komunikasi, tetapi dalam perundingan untuk penyelesaian konflik penataan tempat duduk yang mencerminkan posisi yang setara antar para pihak menjadi sangat penting. Hal ini mungkin terlihat hal kecil namun, posisi duduk para pihak jika tidak diatur sedemikan rupa oleh mediator, bisa jadi menjadi panggung untuk mempertunjukkan kekuatan salah satu pihak guna mengintimidasi pihak lainnya. Hal ini tentu bisa menambah permasalahan. 

Singkatnya, teknik-teknik fasilitasi diskusi yang umum dikenal dapat digunakan dalam perundingan tetapi perlu disesuaikan dengan konteks, tujuan dan tahapan perundingan yang lebih luas. Juga, kemampuan dan kecakapan fasilitasi yang baik mutlak diperlukan oleh mediator, tetapi seorang fasilitator yang baik tidak serta merta dapat menjadi mediator. 

Semoga penjelasan ini bisa memberikan gambaran bagaimana membedakan fasilitasi perundingan dalam mediasi dan fasilitasi diskusi pada umumnya.

Foto oleh Johanes Minawan Laksana – Pemandangan aerial Desa Plaga di pulau Bali.