Mediasi dan Ketimpangan Struktural
7 November 2023Sebagai prakarsa penyedia fasilitas penanganan konflik lahan dan kekayaan alam di Indonesia yang mengedepankan pendekatan dialogis dan kolaboratif melalui mediasi, kami sering mendapatkan pertanyaan kritis dari berbagai pihak, “Apakah mediasi dapat dilakukan manakala ada ketimpangan yang cukup besar di antara para pihak yang berkonflik? Seberapa efektif mediasi dalam upaya menangani konflik lahan dan kekayaan alam antara masyarakat dan perusahaan di Indonesia? Lebih dari itu, pendekatan kasus-demi-kasus melalui usaha yang intensif memerlukan waktu yang relatif cukup lama dan sumberdaya yang tidak sedikit, sementara kasus konflik lahan dan kekayaan alam jumlahnya sangat banyak; jika demikian kapankah kasus-kasus yang sudah menumpuk akan selesai?”
Walau skeptikal, pertanyaan tersebut bukan tanpa dasar. Konflik lahan dan kekayaan alam di Indonesia jumlahnya sangat banyak, sangat kompleks, melibatkan banyak pihak, bersinggungan dengan berbagai aspek seperti persoalan ekonomi, sosial hingga lingkungan, dan sebagian besar telah berlangsung sangat lama. Berbagai berita tentang konflik lahan dan kekayaan alam di media hanyalah puncak gunung es dari tumpukan persoalan di lapis-lapis bawahnya. Akibatnya, walaupun inisiatif penanganan konflik telah banyak dilakukan, konflik masih terus bermunculan sementara kasus konflik yang lama, banyak yang belum tuntas ditangani. Tumpukan kasus konflik yang tidak terselesaikan itu menyiratkan pertanyaan tentang efektivitas pendekatan penanganan konflik pada realita masih banyaknya persoalan-persoalan di hulu, termasuk, salah satunya, tentang berubah-ubahnya regulasi dan kebijakan terkait yang kerap bersinggungan dengan dinamika pasar yang tinggi.
Dari apa yang kami pelajari berdasarkan pengalaman selama ini, mediasi sebagai sebuah metode penanganan konflik lahan dan kekayaan alam membutuhkan upaya memenuhi prasyarat-prasyarat mediasi (enabling conditions). Diantaranya adanya komitmen para pihak untuk berhenti berkonflik, regulasi yang jernih dan mendukung upaya perdamaian, peran aktif pemerintah sebagai otoritas, kesadaran para pihak akan prinsip dan proses mediasi, pengetahuan dan pemahaman para pihak tentang regulasi dan kebijakan terkait dengan pokok konflik, transparansi dan akses pada informasi, keseimbangan kekuatan antara para pihak yang berkonflik, serta mediator yang dipercaya oleh para pihak dan berkompeten memandu proses dengan memperhatikan netralitas, kerahasiaan (confidentiality), imparsialitas, dan independensi. Terpenuhinya syarat-syarat pemungkin ini, baik seluruhnya maupun sebagian, memperkuat peluang keberhasilan mediasi dalam penanganan konflik lahan dan kekayaan alam antara masyarakat dan perusahaan di Indonesia.
Namun pada prakteknya, jarang sekali kami menemukan kasus konflik lahan dan kekayaan alam yang memenuhi semua persyaratan di atas. Seringnya, dalam kasus konflik antara perusahaan dan warga masyarakat, kami justru menemui ketimpangan yang besar antara para pihak yang berkonflik. Ketimpangan itu terjadi dalam berbagai hal, utamanya pengetahuan dan akses terhadap regulasi, kebijakan dan informasi lainnya, serta tingkat keterorganisasian internal para pihak yang berkonflik. Selain itu, ada pula masalah karena belum memadainya dukungan pemerintah terhadap proses mediasi serta pemberian jaminan hukum bagi hasil kesepakatan para pihak. Keadaan di atas merupakan potret pengelolaan lahan dan kekayaan alam yang umum di Indonesia, bahkan dapat dikatakan bahwa ketimpangan itu merupakan masalah yang struktural.
Karenanya, sebagian besar usaha kami dalam memulai proses mediasi adalah, upaya untuk memenuhi prasyarat-prasyarat sebagai kondisi pemungkin penanganan konflik secara kolaboratif. Diantaranya mengembangkan kesediaan dan komitmen para pihak untuk berpartisipasi dalam upaya penyelesaian konflik, mendorong tumbuhnya kohesi internal dan persiapan tim perwakilan agar mampu memperjuangkan kepentingannya dalam ajang mediasi, membangun dasar informasi dan akses yang setara untuk memahami pokok konflik sebagai dasar mengambil keputusan penanganannya, serta menggalang dukungan dari kalangan pemangku kepentingan yang lebih luas. Singkatnya, sebagian besar waktu digunakan untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural tersebut guna memungkinkan perundingan yang konstruktif.
Walaupun begitu, upaya-upaya tersebut sangat terbatas dan tidak menghilangkan ketimpangan struktural itu sendiri, tetapi hanya mengelolanya sebatas untuk memungkinkan perundingan yang konstruktif. Karenanya kesepakatan yang diusahakan bukanlah kesepakatan yang ideal dan dapat bertahan dalam jangka-panjang, tetapi kesepakatan pragmatis tentang apa yang dapat dilakukan dalam konteks nyata yang dihadapi. Artinya, pendekatan mediasi memang belum menjawab pertanyaan tentang efektivitasnya dalam menyelesaikan tumpukan kasus konflik yang begitu besar di negeri ini. Namun demikian, pendokumentasian pembelajaran dari proses penanganan menjadi sangat penting untuk terus berupaya memperbaiki kualitas fasilitasi dialog serta sebagai inspirasi bagi pihak-pihak lain yang berkonflik atau yang memiliki kepedulian dan perhatian pada upaya penanganan konflik lahan dan kekayaan alam.
Menurut kami, bekerja pada skala terkelola (manageable scale) dengan mediasi kasus per kasus tetap merupakan pilihan yang baik dan patut untuk terus diupayakan. Karena, upaya mediasi setidaknya memberikan manfaat nyata kepada para pihak yang berkonflik. Bagi perusahaan, setidaknya kerugian akibat konflik atau berkurangnya peluang memperoleh laba (opportunity costs) dapat diatasi, sementara bagi masyarakat, mereka dapat terus berupaya dalam penghidupan mereka. Penyelesaian konflik bukan saja dapat memberikan manfaat penghematan waktu dan biaya, akses terhadap sumber penghidupan, tetapi juga mentransformasi hubungan antara perusahaan dan masyarakat menjadi yang lebih baik. Lebih dari itu, setiap kasus yang berhasil diselesaikan melalui mediasi dapat menjadi inspirasi dan rujukan bagi pihak-pihak lainnya untuk menyelesaikan konflik di antara mereka.
Upaya penanganan konflik pada skala terkelola sebagaimana disebutkan diatas memang tidak menyentuh aspek regulasi dan kebijakan meskipun dalam berbagai kasus justru regulasi dan kebijakan yang terus berubah-ubah itulah yang kerap menjadi pemicu konflik. Upaya pada skala terkelola juga memiliki keterbatasan untuk mampu mengatasi ketimpangan struktural Hal ini tidaklah menafikan bahwa pendekatan yang lebih luas dalam ranah kebijakan tetap juga diperlukan.
Singkat kata, dengan segala keterbatasan yang ada, pendekatan mediasi pada skala terkelola dalam konteks lokal, tetap menjadi pilihan pendekatan yang bermanfaat dan patut diupayakan, termasuk upaya-upaya mengembangkan syarat-syarat pemungkinnya (enabling conditions). Namun pada saat yang sama, pendekatan yang lebih luas pada tataran kebijakan yang lebih mendasar juga perlu diusahakan.
Kredit foto oleh Rahmad Himawan.