Konflik Transmigrasi: Utang Kebijakan yang Belum Lunas

28 Oktober 2024

Program transmigrasi di Indonesia, yang dimulai sejak masa kolonial pada 1905 di Gedong Tataan, Lampung terus berlanjut hingga kini. Penyelenggaraan transmigrasi pasca kemerdekaan dimulai pada 12 Desember 1950 ditandai dengan pemberangkatan transmigran dari Kedu Jawa Tengah ke Lampung. Sekarang tanggal 12 Desember tersebut dijadikan Hari Transmigrasi. Meski program ini dilandasi niat baik untuk mengurangi kepadatan penduduk, meratakan pembangunan, dan membuka lahan baru, kenyataannya ada banyak persoalan yang muncul, terutama terkait kepastian ruang hidup dan penggunaan lahan bagi para transmigran.

Di beberapa lokasi, warga transmigran belum memperoleh kepastian ruang hidup yang telah dijanjikan kepada mereka. Sejumlah lahan garapan yang diklaim transmigran bahkan berlokasi di kawasan hutan. Izin perkebunan perusahaan juga kerap bertumpang-tindih dengan lahan garapan transmigran. Ini merupakan contoh permasalahan terkait tanah yang harus dihadapi transmigran ketika proyek transmigrasi dianggap selesai oleh pemerintah dan transmigran dianggap sudah mampu (ditinggal) sendiri.

Padahal, pemerintah seharusnya tidak boleh melepaskan tanggung jawab atas masalah tenurial yang dihadapi para transmigran, hingga mereka benar-benar mendapatkan seluruh haknya.

Keadaan semacam ini menjadi pangkal berbagai konflik antara transmigran dengan masyarakat setempat, perusahaan, dan negara. Mengapa konflik tenurial transmigran bergulir sedemikian kompleks? 

Pertama, ketidakpastian hukum, khususnya mengenai status kepemilikan (kontrol terkait pengelolaan-pemanfaatan) tanah bagi para transmigran. Sertifikat tanah yang dimiliki kelompok transmigran seringkali sudah dikuasai pihak lain. Akibatnya konflik pun tak terhindarkan. 

Kedua, lemahnya koordinasi antar kementerian dan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas program transmigrasi. Akibatnya, terjadi tumpang tindih kewenangan ini yang kian memperumit penyelesaian masalah. 

Ketiga, kecemburuan sosial kerap muncul akibat persepsi bahwa kelompok transmigran mendapatkan perlakuan istimewa dibandingkan masyarakat setempat. Padahal, proses transmigrasi dari perencanaan, pemilihan lokasi, rekrutmen, pembekalan, penempatan, dan pembinaan sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah, tanpa melibatkan organisasi kemasyarakatan sebagaimana yang diamanatkan dalam Perpres Nomor 50 Tahun 2018. Persepsi semacam ini tak jarang memicu konflik sosial yang bergulir dalam jangka panjang. 

Dalam banyak kasus, masyarakat setempat juga menghadapi berbagai kesulitan dan ketidakpastian. Masalah kepastian penguasaan-kepemilikan yang dihadapi para transmigran merupakan isu yang mendesak ditangani dan memerlukan upaya komprehensif yang melibatkan berbagai pihak. Karena bukan hanya persoalan individu tetapi juga persoalan sosial yang lebih luas. Jika tidak segera diselesaikan, konflik ini berpotensi mengancam keamanan masyarakat. Salah satu upaya yang sangat dibutuhkan adalah peningkatan koordinasi antar kementerian dan lembaga pemerintah yang menangani program transmigrasi, termasuk antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Selain itu, perlu ada peningkatan kesadaran kritis masyarakat adat dan lokal serta transmigran tentang hak-hak dasar mereka sebagai warga negara, terutama terkait kepastian penguasaan-kepemilikan. Hal ini harus didukung oleh penegakan hukum yang konsisten untuk memberikan kepastian hukum bagi semua pihak.

Pada akhirnya, kemauan politik yang kuat dari pemerintah menjadi kunci utama penyelesaian masalah struktural ini. Pemahaman yang lebih baik mengenai akar masalah dan kolaborasi semua pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikannya secara transparan dapat membantu masyarakat transmigran memperoleh keadilan dan kepastian hukum yang selama ini mereka perjuangkan, serta hak-hak dasar sebagai warga negara.