Mencegah itu Lebih Baik: Catatan dari Lokakarya Pengembangan Sistem Resolusi Konflik di Palu
22 Februari 2018Pendekatan personal jika dilakukan dengan penuh pertimbangan akan efektif dalam mencegah konflik. Hal tersebut mengemuka dalam salah satu dialog di acara lokakarya Strategi Pengembangan Sistem Resolusi Konflik yang Efektif bagi Sektor Usaha Berbasis Lahan yang diadakan di Kota Palu, Sulawesi Tengah pada tanggal 20 Februari 2018.
Memasuki tahun 2018 ini, Conflict Resolution Unit (CRU) bekerja sama dengan Yayasan Penabulu dan KADIN Indonesia kembali menyelenggarakan seri lokakarya Strategi Pengembangan Sistem Resolusi Konflik yang Efektif bagi Sektor Berbasis Lahan. Pada kesempatan kali ini, lokakarya diadakan di kota Palu dan diperuntukkan khususnya bagi pelaku usaha di sektor berbasis lahan di Sulawesi Tengah. Sebanyak 19 peserta menghadiri lokakarya sehari tersebut. Selain dari pelaku usaha di bidang kehutanan, perkebunan dan pertambangan hadir pula perwakilan dari pelaku usaha di sektor properti dan retail. Dua sektor ini sedang menggeliat di kota Palu terutama sejak pembukaan kembali keran ekspor komoditas mineral mentah seperti nikel (kadar rendah) dan bauksit (yang telah dicuci).
Lokakarya dibuka oleh sambutan dari Wisnu, perwakilan KADIN Indonesia dan H. Mansur Ba’adi, SE., Ketua KADINDA Sulawesi Tengah. Sementara itu hadir sebagai pemateri adalah Asep Yunan Firdaus dari Epistema dan Navitri Putri Guillaume dari CRU.
H. Mansur Ba’adi, SE menyampaikan apresiasinya dalam kegiatan ini, dan berharap kegiatan ini dapat membuka dialog yang lebih intens antara para pelaku usaha khususnya yang telah bernaung dalam KADIN.
“Boleh dibilang kita jarang berkumpul seperti ini, semoga pertemuan ini awal dari pertemuan-pertemuan selanjutnya yang bisa mendatangkan manfaat, menjadi tempat kita berdiskusi demi kemajuan usaha masing-masing dan Sulawesi Tengah,” ujarnya.
Sementara itu Wisnu dari KADIN Indonesia menjelaskan bahwa acara ini merupakan salah satu upaya dari KADIN Indonesia untuk berkontribusi dalam masalah resolusi konflik terutama yang dialami oleh anggota KADIN.
Lokakarya dilanjutkan dengan sesi berbagi cerita tentang konflik antara peserta. Fasilitator Tommy Kristiawan dan Tino Yosephine menggunakan pendekatan berupa metode visualisasi dan bercerita (storytelling). Sebanyak 19 peserta di bagi menjadi 2 kelompok besar. Masing-masing diajak untuk menceritakan pengalaman mengenai konflik yang pernah mereka alami di perusahaan tempat bekerja.
Diskusi menghangat ketika pemateri Asep Yunan Firdaus memberikan materi tentang mediasi dan dilanjutkan oleh Navitri Putri Guillaume yang memberikan materi tentang besaran biaya konflik yang harus ditanggung oleh perusaan di sektor kelapa sawit.
Asep Yunan Firdaus menjelaskan, mediasi menjadi salah satu alternatif penyelesaian konflik lahan dan sumber daya alam yang dianjurkan oleh Pemerintah. “Inisiatif penyelesaian konflik SDA seperti mediasi berkembang karena sering kali konflik yang telah diselesaikan di pengadilan, justru muncul menjadi konflik baru. Karena itu mulai berkembang inisiatif penyelesaian konflik selain mekanisme pengadilan yang bisa harapannya dapat menyelesaikan konflik dengan tuntas,” jelas Asep.
Seorang peserta dari salah satu perusahaan tambang mengemukakan, “Sepertinya mediasi bukan hal baru, namun istilahnya saya baru mendengar. Bagus sekiranya kami diberi pembekalan tentang hal ini, jadi bisa dilakukan di perusahaan hingga bisa efektif menyelesaikan konflik”, katanya.
Sementara itu Navitri Putri Guillaume mempresentasikan hasil studi biaya konflik yang ditanggung oleh perusahaan dari sektor kelapa sawit. Studi ini dilakukan pada tahun 2016 bekerja sama dengan Daemeter. “Dari studi ini, kita mengetahui bahwa kisaran biaya konflik yang ditanggung perusahaan bisa mencapai 51 -88% dari biaya operasional kebun, jumlah yang cukup besar”, kata Navitri.
Dijelaskannya kembali, walau besaran biaya konflik sangat mungkin bervariasi dari setiap perusahaan, namun temuan-temuan lain seperti pemicu konflik, manifestasi konflik hingga para pihak yang terlibat konflik telah diakui oleh banyak pihak yang membaca hasil penelitian ini.
Senada dengan hal itu, salah seorang peserta dari Minamas mengatakan, “Besaran biaya konflik di perusahaan kami belum pernah menghitung secara detil, namun kisaran manifestasi konflik seperti terungkap di penelitian ini, seperti protes fisik, perusakan properti kurang lebih demikian”, ungkapnya.
Besarnya biaya konflik ini juga harapannya disadari oleh berbagai pihak khususnya yang terlibat dalam penyusunan kebijakan di perusahaan. “Potensi kerugian akibat konflik ini jika disadari mungkin dapat memaksa untuk menyusun langkah serius seperti rekomendasi dari penelitian ini, memasukkan dalam KPI misalnya, walau mungkin baru bisa dilakukan oleh perusahaan yang bermodal kuat atau besar”, lanjutnya.
Sementara itu Karman Karim dari Grand Palu Mall mengatakan bahwa pendekatan personal dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya konflik. “Hal ini lebih efektif daripada kita memadamkan konflik setelah muncul”, katanya.
Seri lokakarya ini merupakan bagian dari upaya panjang CRU untuk mengumpulkan petikan pembelajaran terbaik tentang resolusi konflik dari sektor usaha. Bersama Yayasan Penabulu dan KADIN Indonesia, CRU sedang menyusun panduan resolusi konflik bagi korporasi. Petikan pembelajaran yang dikumpulkandari serangkaian lokakarya ini menjadi referensi dalam penyusunan panduan tersebut. Oleh karenanya penggalian informasi menjadi agenda utama.(RN/CRU)