Konflik Lahan Rugikan Semua Pihak
22 Maret 2018Jakarta-KOMPAS. Studi kasus terbaru membuktikan, konflik lahan pada perkebunan sawit merugikan perusahaan dan masyarakat. Konflik ini umumnya disebabkan pemberian lahan tak clean and clear sehingga tumpang tindih dengan tenurial masyarakat desa atau masyarakat adat yang tinggal di sana.
Studi ini memperkuat pentingnya Presiden Joko Widodo menjalankan janji moratorium izin sawit. Ini sejalan dengan penegakan aturan dan perbaikan tata kelola dan produktivitas kelapa sawit.
Hal ini mengemuka dalam paparan hasil studi kasus “Kerugian dan Biaya Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam”, Rabu (21/3), di Jakarta yang diadakan Conflict Resolution Unit Indonesia Business Council for Sustainable Development. Studi pertama dilakukan Daemeter Consultant yang menelaah kerugian perusahaan. Studi kedua dilakukan Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) yang menelaah kerugian dari perspektif komunitas.
Godwin Limberg, Regional Manager Kalimantan Daemeter Consultant, menunjukkan, perusahaan sawit terbebani biaya signifikan penanganan konflik lahan. Di lima perkebunan sawit besar yang ikut skema berkelanjutan (sustainability) di Sumatera dan Kalimantan, tempat studi, biaya nyata (tangible cost) yang dikeluarkan perusahaan 70.000 dollar AS sampai 2,5 juta dollar AS. Biaya ini mewakili 51-88 persen dari biaya operasional.
Biaya itu meliputi biaya staf, hilangnya produksi, hilangnya pendapatan, biaya legal, pembayaran kompensasi, dan biaya tambahan (overhead). “Tiga perempat biaya operasi perusahaan untuk menangani konflik. Ini harus meningkatkan kesadaran agar lebih peka menangani konflik,” ungkapnya.
Sumber kehidupan
Rimawan Pradiptyo, ekonom Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, satu dari empat peneliti untuk Karsa, menyebutkan kerugian pada masyarakat. Salah satunya, kehilangan sumber kehidupan di hutan yang berubah jadi perkebunan.
Studi pada komunitas masyarakat di Suku Anak Dalam 13 (Batanghari, Jambi), Desa Muara Tae (Kutai Barat, Kalimantan Timur), dan Desa Trimulya (Sanggau, Kalimantan Barat) menunjukkan 36,79 persen nilai konsumsi pada masa kini didapat pada masa lalu.
Kontraksi konsumsi ini hampir tiga kali krisis moneter 1998 sebesar 15 persen (penurunan produk domestik bruto per kapita). “Krisis moneter (1998) tiga tahun, tetapi yang dialami warga ini bertahun-tahun,” kata Paramita Iswari, peneliti Karsa yang ikut studi.
Yando Zakaria, peneliti Karsa yang juga antropolog independen, memaparkan, beban rumah tangga akibat konflik mengkhawatirkan. Dengan asumsi satu hari kerja seseorang digaji Rp.100.000 per hari per orang, penurunan pendapatan akibat konflik menyebabkan tambahan hari kerja rata-rata 35 hari per orang.
Kelebihan hari kerja sebulan dikompensasi lewat penjualan aset. Di Jambi, konflik berlangsung 20 tahun hingga kini. “Ini jadi pemiskinan struktural mengingat biaya bersifat jangka panjang,” ujarnya.
Studi ini tak mewakili kasus di seluruh Indonesia. Namun, itu gambaran umum kerugian akibat konflik warga dan perusahaan. Di Indonesia, menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria, tahun 2016 ada 450 kasus konflik agraria (mayoritas konflik di perkebunan, infrastuktur, dan kehutanan), yakni 1,26 juta hektar lahan dan berdampak pada 86.745 keluarga di Indonesia.
Zukri Saad daru Golden Agri Resources, pekebun sawit dari Grup Sinar Mas, menuturkan konflik di lahan hak guna usaha perusahaan akibat pemberian lahan tak clear dan clean. Jadi, perlu format baru pengelolaan lahan dengan bertahap mendistribusikan hak guna usaha perusahaan kepada warga. (ICH)
Seperti ditulis pada Harian Kompas edisi Kamis, 22 Maret 2018.