Berapa Biaya Konflik yang Dirasakan oleh Masyarakat?
22 Maret 2018Sebagai bagian dari upaya peningkatan pemahaman akan konflik lahan dan sumber daya alam di Indonesia, Conflict Resolution Unit (CRU) bekerja sama dengan tim peneliti dari lembaga KARSA (Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria) mengadakan sosialisasi hasil studi “Biaya Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam dari Perspektif Masyarakat” pada tanggal 21 Maret 2018 di Jakarta. Acara sosialisasi ini dihadiri oleh sedikitnya 49 peserta yang merupakan perwakilan dari instansi pemerintah, sektor swasta, akademisi dan perwakilan organisasi masyarakat sipil.
Acara ini dibuka dengan pidato kunci oleh Abetnego Tarigan dari Kantor Staf Presiden yang menyambut hasil studi sebagai upaya untuk memperkaya pemahaman tentang dampak konflik. “Studi biaya konflik dalam perspektif masyarakat menjadi sangat penting untuk melihat konsekuensi sosial ekonomi dan lingkungan akibat konflik yang ditanggung oleh pihak-pihak berkonflik sehingga kita semakin menyadari untuk perubahan-perubahan kebijakan di masa mendatang”, ungkap Abetnego Tarigan.
Konflik terkait lahan dan sumber daya alam tanpa diragukan memberikan dampak tak sedikit bagi para pihak yang berkonflik baik masyarakat, sektor swasta hingga pemerintah baik pusat maupun daerah. Namun berapa sebenarnya nilai finansial yang harus ditanggung masyarakat terutama dalam tingkat rumah tangga ketika menghadapi konflik?
Studi ini berusaha menjawab biaya tersebut dengan menggunakan penggabungan metode kuantitatif dan kualitatif dengan pendekatan wawancara ZMET dan choice model. Pengambilan data dilakukan di tiga wilayah setingkat desa di Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
Hasil studi menunjukkan rata-rata biaya konflik yang harus ditanggung rumah tangga adalah minimal sebesar Rp41.754.672,00 per tahun. Nilai ini merupakan akumulasi dari perhitungan nilai konsumsi primer dan sekunder serta kesediaan membayar untuk beberapa jasa lingkungan yaitu ketersediaan air, tanaman obat dan modal sosial atau kerukunan sosial.
Hasil studi ini juga mengungkapkan besaran beban ekonomi akibat konflik tanah dan sumber daya alam lebih besar dari beban ekonomi yang ditanggung oleh masyarakat akibat krisis moneter tahun 1998. Dalam kondisi konflik masyarakat harus menanggung sekitar 36.79% dari nilai komsumsinya saat ini sedangkan krisis moneter 1998, menimbulkan kontraksi ekonomi sebesar 15%.
Namun demikian, nilai biaya konflik pada studi ini merupakan nilai minimum, seperti yang diungkapkan oleh salah satu anggota tim peneliti, Rimawan Pradiptyo.
“Biaya konflik sebenarnya dapat lebih besar, namun ini merupakan nilai minimum yang ditanggung oleh rumah tangga”, jelas Rimawan Pradipyo. Hal ini karena tim peneliti hanya menghitung biaya konfik pada cuplikan waktu tertentu.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Yando Zakaria, antropolog senior UGM yang juga menjadi bagian dari tim peneliti, biaya konflik yang sebenarnya seharusnya dihitung dalam satu daur konflik.
“Idealnya biaya konflik memang dihitung sebagai akumulasi biaya secara runtun waktu, dari mulai berlangsungnya konflik, saat terjadi konflik hingga mencatat setelah terjadi konflik, namun jika kita menunggu sampai selesainya konflik, akan sangat lama, satu konflik bisa mencapai 20 tahun”, lanjutnya.
Walau demikian, studi ini tetap dapat merekam beberapa temuan baru, salah satunya adalah temuan bahwa beban ekonomi yang ditanggung oleh rumah tangga yang memiliki kebun sawit justru lebih besar daripada rumah tangga yang tidak memiliki kebun sawit ataupun mengikuti program inti-plasma. Rumah tangga pemilik kebun sawit atau yang mengikuti program inti-plasma menanggung Rp51.617.040,00 per tahun sedangkan kelompok bukan pemilik menanggung beban Rp32.294.844,00 per tahun.
Kesimpulan penting dari studi ini adalah konflik tanah dan sumber daya alam menyebabkan berubahnya cara hidup masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebelum terjadinya konflik, keluarga di daerah penelitian terbiasa untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya dengan mengambil bebas di alam. Semua memiliki akses yang sama ke sumber daya alam baik ke lembo (kebun) maupun hutan. Namun sejak terjadinya konflik, akses tersebut berkurang, dan untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya masyarakat beralih ke sistem pasar atau jual beli.
Pemaparan hasil studi ini juga dilengkapi dengan pemaparan hasil studi biaya konflik sebelumnya dalam konteks sektor usaha oleh Godwin Limberg dari Daemeter. Godwin menyebutkan studi ini dapat memperkaya pemahaman akan besarnya dampak konflik yang harus ditanggung oleh para pihak dan berharap agar hasil studi ini dapat menjadi latar belakanguntuk memikirkan tindakan atau kebijakan yang dapat mencegah atau mengurangi terjadinya konflik.
Sejak tahun 2016, CRU bekerja sama dengan beberapa lembaga penelitian untuk mengadakan studi biaya konflik komprehensif yang dibagi dalam beberapa bagian. Penelitian studi biaya konflik dan sumber daya alam dari perspektif masyarakat ini merupakan penelitian kedua yang didukung oleh CRU, setelah sebelumnya bersama Daemeter menyelesaikan studi biaya konflik dari sektor kelapa sawit. Tujuan penelitian biaya konflik itu sendiri adalah untuk menghitung biaya yang harus ditanggung para pihak akibat terjadinya konflik tanah dan sumber daya alam di Indonesia. Dengan memberikan gambaran nilai biaya konflik dalam nilai finansial diharapkan ada pemahaman menyeluruh tentang dampak konflik itu sendiri dan mendorong upaya penyelesaian konflik yang lebih baik. (RN/CRU)
Lebih lanjut tentang studi biaya konflik dapat dilihat di sini.