Mencari resep meredakan konflik di kawasan hutan negara
29 Mei 2019Sumber: Kabar Hutan
Menghentikan tren: Meningkatnya perebutan lahan berbanding lurus dengan berkembangnya kelapa sawit di Indonesia
Indonesia – Seiring perkembangan pasar global untuk biofuel dan minyak masak, investasi untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga meningkat. Keuntungan finansial yang diraup negara cukup signifikan, namun begitu pula risiko konflik masyarakat, di antara masyarakat itu sendiri maupun antara masyarakat dengan korporasi. Kelapa sawit dilaporkan berkontribusi sebanyak 49 persen dari total area perkebunan yang terdampak masalah konflik lahan. Pada 2017, luas area ini meliputi 194.000 hektare.
Di Provinsi Kalimantan Tengah – yang 52 persen wilayahnya ditanami kelapa sawit – sudah bertahun-tahun terjadi konflik tata ruang antara pemerintah pusat dengan daerah. Pada 2001, hampir 87 persen dari 325 perusahaan perkebunan kelapa sawit di provinsi ini yang belum menuntaskan rencana tata guna lahan, diduga memanfaatkan kawasan hutan tanpa prosedur. Dengan kata lain, kegiatan mereka ilegal.
Apa akar masalah ini? Ketidakpastian tenurial lahan, terutama di kawasan hutan negara.
Sekitar 2,5 juta hektare perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan negara, dan menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian Indonesia, sebanyak 1,7 juta hektare dimiliki petani.
Konflik atas keberadaan kelapa sawit dalam kawasan hutan negara terjadi dengan beragam alasan.
Salah satu di antaranya adalah alokasi lahan yang kurang terkoordinasi dan terus berubahnya kebijakan pemerintah pusat dan daerah disertai kurangnya kesadaran mengenai batas kawasan hutan negara diantara masyarakat lokal yang terdorong untuk memperluas kebun sawit yang menguntungkan tersebut. Selain itu, belum tuntasnya proses pengukuhan kawasan hutan – yang menyatakan bahwa kawasan tertentu sebagai hutan negara melalui proses penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan, yang dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri– mengakibatkan ketidakpastian tenurial lahan.
Penyebab lain adalah kurangnya tanggung jawab dan pengawasan petugas. Kondisi ini diperburuk dengan terbatasnya personil dan anggaran, sehingga perluasan kebun kelapa sawit ke dalam kawasan hutan tidak bisa dihindarkan.
Konflik berbasis lahan ini tidak hanya membuat masyarakat sulit mendapatkan manfaat optimal dari produk yang mereka jual ke pasar, tetapi juga merugikan ekonomi nasional sebesar hampir 2 miliar dolar AS (Rp 27,6 triliun) tiap tahun, jika dihitung berdasarkan sewa lahan Rp 1 juta per hektare.
Di tengah berbagai upaya yang terus dilakukan pemerintah dalam mencari solusi, konflik tenurial terus terjadi. Di balik tantangan yang ada, terdapat peluang untuk menemukan solusi atas masalah perkebunan kelapa sawit ilegal di kawasan hutan negara, khususnya yang diklaim oleh petani.
Mengharapkan solusi permanen mungkin masih mimpi, namun terobosan baru tetap diperlukan dan bisa membuat perbedaan. Kami menelaah beragam peluang yang didiskusikan oleh para pengambil kebijakan di sektor kelapa sawit di Indonesia.
SOLUSI DI DEPAN MATA
Pertama, kita harus mengetahui tipologi pekebun sawit yang membukan kebun di dalam kawasan hutan. Petani tidak homogen, namun sangat bervariasi dalam hal sumber daya, modal dan kemampuan mengakses dana, jasa dan pasar.
Mereka juga berbeda dalam strategi penghidupan dan kapasitas mengelola kebun. Petani dikelompokkan dalam 6 jenis, mulai dari petani migran kecil dengan luas kebun rata-rata 2,1 hektare hingga produsen besar dengan luas kebun rata-rata 217,8 hektare. Untuk menjaga keadilan sosial pada tiap tingkat, kami berpendapat bahwa metode mengatasi masalah tenurial lahan seharusnya berbeda bagi petani kecil dan produsen besar, dan berbeda antara petani untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan mereka yang memiliki jaringan pasar lebih luas. Oleh karena itu, memahami heterogenitas petani menjadi penting.
Sebelumnya, ketika masyarakat secara ilegal menguasai lahan dalam kawasan hutan dan menamami kelapa sawit, mereka bisa diancam hukuman penjara. Pendekatan represif seperti penggusuran dan penahanan perambah hutan mungkin tidak selamanya berhasil. Penegakkan hukum jadi sandaran terakhir.
“Kini kementerian mengambil pendekatan baru: penegakan hukum tidak lagi memburu masyarakat yang melakukan aktivitas ilegal di hutan negara,” kata Eka Soegiri, direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Solusi seperti reformasi agraria dan program perhutanan sosial lebih dikedepankan.
Meski reformasi agraria dan program perhutanan sosial diklaim pemerintah sebagai solusi cerdas mengatasi konflik di atas kawasan hutan, beberapa pertanyaan muncul. Tidak jelas bagaimana program ini membantu petani kecil mendapat akses legal atas lahan, mengingat terdapat ketidaksesuaian antara sebaran petani dan lokasi target sebagaimana tertuang dalam peta indikatif alokasi kawasan hutan untuk penyediaan sumber tanah obyek reforma agraria yang dikeluarkan kementerian. Kurangnya basis data perkebunan petani dan kompleksitas di lapangan dengan beragamnya klaim atas tenurial lahan terus menjadi tantangan dalam memastikan implementasi program tepat sasaran.
“Program reformasi agraria menawarkan peluang besar bagi masyarakat untuk memperoleh lahan yang legal, namun kita tidak tahu persisnya lokasi geografisnya dan kita tidak mampu menentukan lokasi lahan di wilayah Kalimantan Tengah yang sangat luas,” kata Rawing Rambang, kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah.
Menyimpulkan hasil diskusi kelompok mengenai tenurial dan kelapa sawit, Erdi Abidin, dosen Universitas Tanjungpura di Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat menyatakan, “Prioritas reformasi agraria menyasar petani kecil yang saat ini menguasai lahan hutan negara agar legal dan kemudian – dengan dukungan finansial dari dana sawit – mendapatkan hak sertifikasi produk dari Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan skema lain.”
Dengan memberi masyarakat lokal hak pemanfaatan lahan melalui skema perhutanan sosial, konflik juga bisa dikurangi. Namun, kelapa sawit tidak dapat dibudidayakan di lahan perhutanan sosial, dan regulasi yang ada menyatakan bahwa petani hanya boleh menanam dan memanen tanaman ini maksimum 12 tahun sejak penanaman. Perdebatan muncul di antara para pemangku kepentingan mengenai masalah pembatasan ini. Beberapa pakar menyarankan agar petani diperbolehkan memanen dalam sekali siklus kelapa sawit – misalnya, 25 tahun bukan 12 tahun.
Norman Jiwan dari organisasi hak Transformasi untuk Keadilan Indonesia menyarankan solusi berbeda. Jika kelapa sawit ditanam di kawasan hutan sebelum Undang Undang tentang Kehutanan No 41/1999 dikeluarkan, maka hak kepemilikan harus diakui dan diberikan. Namun, jika ditanam setelahnya, maka aturan harus diikuti dan bisa diterapkan program seperti perhutanan sosial, sehingga kebun kelapa sawit di kawasan hutan bisa ditetapkan ilegal dan tidak bisa disertifikasi. Secara ringkas, Jiwan mengingatkan untuk soal batas waktu kapan kebun sawit dibangun di kawsan hutan.
RINGKASAN: SEBUAH TEROBOSAN
Untuk mempercepat upaya pemerintah mengatasi konflik sosial, ketidakadilan distribusi kepemilikan lahan dan memberi masyakarat lokal akses atas sumber daya dan lahan, disarankan agar program reformasi agraria dikombinasikan dengan amnesti lahan. Langkah terobosan ini mengambil pendekatan berbeda. Sementara program reformasi agraria dipimpin oleh negara, partisipasi masyarakat mendorong amnesti lahan.
Pada satu titik ekstrem, petani yang secara ilegal menguasai kawasan hutan, dapat diberikan ampunan. Namun setelah diberi sertifikat, mereka harus membayar seluruh pajak dan mematuhi aturan lain. Di titik ekstrem lain, amnesti diberikan tanpa syarat kepada penguasa atau perambah kawasan hutan secara ilegal. Mereka dibebaskan dari kewajiban apapun terkait lahan, namun negara bisa mengambil alih lahan tersebut.
“Saya pikir amnesti lahan menjadi terobosan yang baik untuk menyelesaikan permasalahan kelapa sawit,” kata Karyadi, ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kalimantan Tengah. “Pertanyaannya, siapa target subyek kebijakan amnesti lahan ini?”
Idealnya, targetnya adalah petani yang berjuang memperoleh kepastian lahan bagi penghidupannya, dan yang sedang dalam konflik yang perlu segera diselesaikan.
Terdapat beberapa pembelajaran dari amnesti Brazil Forest Code 2012 untuk pemilik lahan kecil yang secara ilegal menggunduli hutan. Di bawah aturan tersebut, 90 persen properti desa masuk amnesti jika deforestasi ilegal terjadi sebelum Juli. Apakah amnesti memberikan kepastian legal untuk pemilik lahan, mendorong mereka menjaga hutan, atau justru memperluas deforestasi, masih bisa diperdebatkan.
Namun, mungkin berharga untuk mengadopsi amnesti dalam kasus khusus seperti Indonesia – sambil mengambil hikmah dari Brasil.
Yang pasti, perlu kebijakan yang efektif agar program reformasi agraria dan amnesti mengarah pada pengurangan konflik, legalisasi kepemilikan perkebunan petani kelapa sawit kecil, mendorong investasi dan produktivitas – menjaga petani agar tidak merambah hutan. Selain itu, kapasitas masyarakat lokal harus ditingkatkan untuk lebih mampu mengelola rencata tata ruang desa dan menerapkan sistem berbasis masyarakat dalam mencegah perambahan hutan.
Sumber dari tulisan ini adalah Blog yang merupakan bagian dari proyek Mengelola Bentang Alam Kelapa Sawit (Governing Oil Palm Landscapes for Sustainability/GOLS), didukung oleh Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (United States Agency for International Development/USAID).