Jambore Mediator
23 Agustus 2019Apa yang ada di benakmu ketika mendengar kata Jambore?
Pramuka? Pandu?
Hanya itu?
Tak salah memang, dua kata itu memang lekat dengan kegiatan pramuka.
Situs wikipedia merujuk kata Jambore pada kegiatan pertemuan pramuka penggalam dalam bentuk perkemahan besar. Besarnya skala pertemuan ini karena melibatkan pertemuan dari tingkat ranting sampai dengan nasional. Bahkan di dunia ada Jambore Dunia yang mulai berkembang pada tahun 1920 di Inggris dan terus berlangsung hingga sekarang.
Sementara itu kamus Oxford Kanada menyebutkan istilah Jambore telah dipakai pada abad 19. Seornag penyair yaitu Robert W. Service telah menggunakannya. Grup musik legendaris dunia juga menggunakannya dalam lagu Athabaska Dick. Disini kata Jambore berarti pertemuan besar yang gaduh (riuh). Namun Baden-Powell, bapak Pramuka mengatakan orang-orang memberikan arti yang berbeda untuk kata tersebut, tapi dari tahun ini, Jambore akan dimaknai dengan spesifik. Ini akan dihubungkan dengan pertemuan pemuda terbesar yang pernah ada.
Pertemuan besar, makna itulah yang ingin CRU representasikan dalam kegiatan Jambore Mediator ini. Pada pertemuan yang berlangsung dari tanggal 7 sampai 17 Juli 2019, CRU mengundang 15 mediator pemula yang dipilih oleh tim internal CRU dari seluruh nusantara untuk mengikuti serangkaian acara yang dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas para mediator muda dalam menangani resolusi konflik, khususnya konflik lahan dan sumber daya alam khususnya dalam keahlian membangun kelayakan kasus untuk dimediasi.
Dilihat dari rentang waktunya dan materi yang diberikan, acara ini tidak bisa dikatakan sebagai pertemuan biasa namun istilah pelatihan yang lekat dengan sertifikasi juga tidak terlalu tepat karena acara ini tidaklah dirancang sebagai acara pengayaan formal dengan sertifikat sebagai tanda keikutsertaan. Namun demikian, (tanpa menggunakan sertifikat) acara ini mengusung pendekatan ekosistem pembelajaran yang bertujuan untuk mematangkan para mediator pemula ini menjadi mediator profesional. Karena itulah CRU memilih menggunakan istilah Jambore Mediator.
Ekosistem Pembelajaran bukan ekosistem pembelajar
Dalam suatu ekosistem biologis, interaksi antar komponennya memungkinkan ekosistem berjalan dengan baik dan mencapai keseimbangan. Pada keadaan seimbang tersebutlah diasumsikan setiap komponen menjalankan fungsinya dengan optimal.
Berkolaborasi dengan tim fasilitator dari Bali Lite Institute, tim CRU merancang pertemuan sepuluh hari ini sebagai sebuah perjalanan untuk menciptakan ekosistem pembelajaran yang mendorong setiap peserta untuk terlibat, fokus dan bergairah dalam belajar. Untuk mendorong lahirnya suasana tersebut, setiap individu yang terlibat dalam Jambore ini baik peserta, nara sumber, tim CRU maupun fasilitator diasumsikan menjadi sumber belajar itu sendiri. Disini, materi tidak melulu datang dari nara sumber namun pengalaman individual juga menjadi sumber belajar kolektif. Interaksi antar sumber belajar inilah yang mendorong terbentuknya ekosistem pembelajaran. Pendeknya, Jambore Mediator mengharuskan setiap individu yang terlibat untuk berkontribusi berbagi serta juga menerima pengetahuan (sumber belajar) dan memanfaatkannya sedemikian rupa agar ekosistem pembelajaran yang diinginkan dapat berjalan.
Tiga lapisan materi pembelajaran disusun untuk membantu peserta dapat tetap fokus, mudah memahami dan tetap bersemangat dalam belajar yaitu kelompok materi latar belakang, arena konflik dan resolusi konflik.
Pada sesi latar belakang konflik, peserta diberi pemahaman dasar yang perlu dipahami oleh seorang mediator konflik lahan dan sumber daya alam seperti ekologi kepulauan Indonesia, etnografi dan antropologi kepulauan Indonesia, perspektif gender, aspek sosial, ekonomi dan politik dan keterkaitannya pada konflik lahan dan sumber daya alam. Sementara itu pada kelompok arena konflik, peserta diberi materi tentang tata ruang, keterkaitan bisnis dan investasi dengan konflik, aspek hukum dan kebijakan dalam konflik agragia serta kemitraan. Selanjutnya peserta diberi materi tentang metodologi, moral kompas mediator, kode etik dan profesi mediator yang termasuk dalam kelompok materi resolusi konflik.
Materi-materi diatas merupakan materi yang dipilih oleh tim CRU untuk memampukan peserta dalam membangun kapasitas dirinya dalam membangun kasus menjadi layak untuk dimediasi.
Untuk membantu materi-materi tersebut terserap oleh peserta, kegiatan ini mengadopsi beberapa pendekatan seperti pendekatan andragogi, model pembelajaran dipercepat (accelerated learning) serta experiential learning berupa latihan mengolah rasa ala seni teater.
Kombinasi pendekatan-pendekatan ini, memungkinkan materi yang kompleks dan padat selama 10 hari tersebut, luruh dan terserap ke dalam ceruk pengetahuan para peserta.
Acara ini ditutup dengan acara pementasan teater oleh para peserta yang ceritanya menggambarkan atmosfir suasana pembelajaran yang tercipta selama acara.