Bagaimana Menyikapi Netralitas Dalam Menangani Konflik dengan Realita Ketidakadilan?
23 Oktober 2021Bagaimana CRU yang mempromosikan resolusi konflik melalui mediasi, dimana netralitas dan imparsialitas menjadi syarat kunci, bersikap ketika menghadapi ketidakadilan yang tidak terbantahkan? Pertanyaan kritis ini cukup sering disampaikan kepada CRU. Bahkan pertanyaan tersebut, terkadang disampaikan dengan nada menyalahkan, seolah dengan menyatakan diri sebagai pihak yang netral, CRU ikut melanggengkan ketidakadilan yang sedang terjadi. Ketika terjadi konflik antara gajah dan pelanduk, bukankah kita harus berpihak kepada mereka yang lemah dan nyata menjadi korban ketidakadilan? Bukankah membela korban yang tidak bersalah sudah menjadi kewajiban dalam memperjuangkan keadilan?
Ketika kita menghadapi konflik yang terjadi di Indonesia, ketimpangan diantara para pihak merupakan realita yang sudah ada. Misalnya, ketimpangan antara masyarakat adat yang mendambakan pengakuan negara terhadap hak mereka atas tanah dengan masyarakat yang datang sebagai transmigran dan serta merta mendapatkan sertifikat tanah dari negara. Ketimpangan juga terjadi antara perusahaan yang mengantongi izin konsesi lahan dengan masyarakat desa di sekitar konsesi yang bahkan belum memiliki batas desa definitif. Bagaimana kita bisa netral dan tidak berpihak ketika menghadapi konflik antara masyarakat yang kehilangan lahan sumber penghidupannya karena tergusur konsesi yang dikelola perusahaan perkebunan skala besar?
Ini memang merupakan dilema bagi lembaga mediasi dan mediator. Di satu sisi, netralitas menjadi prasyarat untuk dapat dipercaya dan diterima oleh para pihak yang berkonflik, namun di sisi yang lain, dituntut untuk bersikap terhadap ketidakadilan. Apakah netralitas pada praktek mediasi hanya ilusi yang harus ditinggalkan demi keadilan? Dilema ini menjadi persoalan yang harus dihadapi dan disikapi baik oleh lembaga mediasi maupun oleh mediator itu sendiri yang menghadapi dan berinteraksi dengan para pihak yang sedang berkonflik selama proses mediasi.
Memang benar, CRU memegang prinsip netralitas dan imparsialitas sebagai sikap dasar lembaga mediasi, karena hanya dengan hal tersebut CRU sebagai lembaga mediasi dapat diterima oleh para pihak yang sedang berkonflik. Ketika para pihak membutuhkan fasilitasi pihak lain untuk membantu mereka mencari jalan keluar, dibutuhkan pihak yang dapat mereka percaya. Secara rasional para pihak akan memutuskan, kesediaannya untuk berunding menggunakan pendekatan mediasi apabila mereka percaya kepada lembaga mediasi, mediator dan proses mediasi yang ditawarkan. Pihak yang dapat dipercaya adalah pihak yang tidak memiliki kepentingan dan netral.
Pengalaman CRU, netralitas merupakan jalan untuk memperoleh kepercayaan para pihak. Kepercayaan pada lembaga penting sebagai fondasi bagi mediator. Kepercayaan tersebut memberikan peluang kepada mediator untuk memfasilitasi dan melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan, termasuk mengusahakan kesepakatan yang berkeadilan. Kesan paradoks pada mediasi konflik agraria dan kekayaan alam menjadi tantangan dalam bersikap pada keadaan dimana mediasi menjadi pilihan terbaik, karena cara-cara lain menjadi pilihan yang kerap menghadapi kebuntuan ketika dijalankan. Dan ketika mediasi sudah menjadi pilihan, cara terbaik untuk membantu pihak yang lemah adalah menjaga netralitas dan bukan dengan berpihak kepadanya karena meninggalkan netralitas dan berpihak pada yang lemah justru akan mengancam integritas proses mediasi tersebut dan bahkan bisa menggagalkannya sehingga tidak ada satu pihakpun yang terbantu.
Terkait perihal ketimpangan yang disebutkan sebelumnya, timbul pertanyaan lain: Bagaimana perundingan dengan mediasi dapat menghasilkan kesepakatan yang adil manakala terdapat ketimpangan kekuatan yang besar antara para pihak. Melibatkan masyarakat dalam perundingan dengan korporasi berisiko kekalahan mereka. Dalam hal ini harus dipahami bahwa memang salah satu peran mediator adalah pemberdayaan para pihak untuk menyeimbangkan kekuatan di antara mereka. Lalu muncul pertanyaan berikut, apakah prakarsa pemberdayaan (pihak yang lemah) merupakan keberpihakan?
Membantu pemberdayaan salah satu pihak bukan berarti berpihak pada pihak tersebut. Pemberdayaan satu pihak harus dipahami juga sebagai upaya membantu pihak lainnya. Menjadi peran mediator untuk menjelaskan kepada para pihak bahwa pemberdayaan pihak lawan adalah demi kepentingan mereka juga. Selain itu, netralitas perlu diimbangi dengan imparsialitas yaitu tidak membeda-bedakan para pihak. Mediator semestinya hanya berpihak pada penyelesaian terbaik bagi para pihak, yakni kesepakatan yang dapat dilakukan, berkelanjutan, dan berkeadilan.
Singkat kata, netralitas mediator tidak bisa ditafsirkan secara sempit dan sederhana sebagai sikap tidak peduli kepada kepentingan para pihak tetapi lebih sebagai keberpihakan terhadap kepentingan semua pihak secara adil dan berimbang.
Photo by Fahrul Razi on Unsplash.