COVID 19 sebagai Game Changer dalam Penanganan Konflik Agraria di Masa Pandemi
23 Agustus 2021Konflik agraria sudah menjadi hal yang niscaya dalam pembangunan yang berorientasi pertumbuhan di Indonesia saat ini. Pun ketika pandemi COVID-19 merebak dan kebijakan pembatasan sosial diterapkan sebagai strategi kunci pemutus mata rantai penyebaran COVID 19, yang mengakibatkan kontraksi ekonomi di berbagai tingkatan. Penurunan ekonomi ternyata tidak menghambat terus maraknya konflik agraria di berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, upaya mendesak pengendalian dampak pandemi menggeser fokus upaya penanganan konflik agraria yang sudah berlangsung sebelumnya sebagai bagian dari kebijakan Reforma Agraria.
Munculnya kasus-kasus konflik baru sebagaimana yang dilaporkan KPA, mengindikasikan di masa pandemi sekalipun konflik-konflik baru terus merebak, termasuk konflik lahan antara warga masyarakat dan sektor swasta. Artinya, kebutuhan akan upaya penanganan konflik-konflik agraria tetap penting dan mendesak bagi semua pihak, baik masyarakat, pemerintah maupun sektor swasta. Pertanyaannya, bagaimana penanganan konflik agraria dilakukan, sementara para pegiat resolusi konflik – termasuk CRU – menghadapi berbagai tantangan teknis dan metodologis pada masa pandemi dengan segala pembatasan mobilitas dan kegiatan sosial? Proses penyelesaian konflik mensyaratkan adanya akses pada informasi dan komunikasi yang setara, yang sulit dipenuhi akibat berkurangnya peluang pertemuan tatap muka. Akibatnya, upaya penanganan konflik cenderung tergantung pada penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Platform komunikasi digital seperti Zoom dan MS Teams, menjadi pilihan yang tersedia. Persoalan baru pun muncul. Kesenjangan akses terhadap TIK dan kualitas jaringan tidak hanya terjadi antara daerah-daerah di Indonesia tetapi juga diantara para pihak yang berkonflik. Hal ini menjadi tantangan bukan saja dalam upaya resolusi konflik tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan lainnya. Persoalan digital divide sudah perdebatan semenjak intensifnya perkembangan Internet. Di masa pandemi tantangan ini menjadi semakin kasatmata dan mendesak untuk ditangani.
Penanganan konflik pun dituntut untuk bertransformasi secara kreatif tanpa mengurangi esensi nilai-nilai dan prinsip-prinsip resolusi konflik. Apakah platform TIK mampu menjadi fasilitas yang memadai dalam upaya transformasi ini? Walaupun Pemerintah telah menyediakan keringanan bagi masyarakat untuk mengakses TIK, namun hal itu belum diimbangi dengan upaya penyetaraan kualitas jaringan yang ada.
Pertanyaan penting lain yang muncul adalah apakah dalam konteks masyarakat pedesaan, terutama desa-hutan, Dana Desa bisa dialokasikan untuk membiayai upaya penyetaraan kualitas jaringan. Misalnya untuk pengadaan perangkat keras dan pembangunan infrastruktur TIK? Sejauh ini, dipahami bahwa kebijakan penggunaan Dana Desa harus mematuhi nomenklatur anggaran kabupaten, dimana prioritas penganggaran di masa pandemi ditujukan pada aspek kesehatan dan pemulihan ekonomi melalui upaya menjaga stabilitas pertumbuhan dengan meningkatkan daya beli masyarakat. Karena alternatif ini sulit dijadikan pilihan, penting untuk dijajaki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai solusi alternatif.
Patut dipertimbangkan bahwa infrastruktur TIK bukan saja berpeluang untuk dimanfaatkan dalam penanganan konflik, tetapi juga berguna untuk berbagai hal lain, antara lain pendidikan, perolehan informasi pasar, jaringan komunikasi yang lebih luas, dan sebagainya. Diskusi tentang hal ini tentu saja masih panjang dan tidak bisa terselesaikan dalam satu bentuk tulisannya saja. Namun, pertanyaan-pertanyaan yang timbul seperti di atas, menyiratkan dibutuhkannya upaya transformasi yang kreatif dalam penyelesaian konflik agraria, apalagi dengan mempertimbangkan Reforma Agraria tetap menjadi kebijakan prioritas Pemerintah.