Pemahaman mendalam tentang konflik lahan dan sumber daya alam menjadi prioritas dalam pengembangan pengetahuan tentang mediasi di Indonesia.
Kami menyediakan perhatian khusus pada upaya pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber pengetahuan, pembelajaran dan pengalaman tentang pendekatan, strategi, dan metodologi penanganan kasus konflik lahan dan kekayaan alam di Indonesia. Kami melakukan riset, penelitian dan pendokumentasian proses penanganan kasus konflik lahan dan kekayaan alam untuk memperkaya pemahaman dan mendukung upaya penanganan konflik secara berkelanjutan di Indonesia. Pengetahuan ini dihasilkan melalui analisis dan dokumentasi kasus-kasus konflik sebagai pembelajaran bagi para pemangku kepentingan, khususnya praktisi konflik lahan dan sumber daya alam. Riset dan dokumentasi proses dilakukan secara lugas untuk menangkap prinsip-prinsip dan memahami dinamika praktek mediasi dalam konteks Indonesia.
Publikasi hasil pembelajaran disebarkan melalui penerbitan kalawarta Layang Damai, dokumentasi penanganan kasus, website, dan media sosial. CRU juga aktif berpartisipasi dalam pertemuan dan webinar untuk memperluas pemahaman tentang penyelesaian konflik lahan dan sumber daya alam di Indonesia.
Beberapa riset yang sudah dilakukan:
1. Biaya Konflik dalam Sektor Kelapa Sawit di Indonesia.
Biaya Konflik Tanah dan Sumber daya Alam dari Perspektif Perusahaan.
Selain kajian tentang biaya konflik dari perspektif perusahaan, CRU juga memprakarsai kajian tentang beban masyarakat yang harus menghadapi konflik. Salah satu akibat banyak kasus konflik lahan dan sumber daya alam adalah biaya konflik yang harus ditanggung oleh masing-masing pihak, termasuk oleh masyarakat. Studi ini mencoba untuk mengukur berapa besar biaya dan kerugian akibat konflik tanah dan sumber daya alam yang ditanggung oleh rumah tangga warga masyarakat. Kajian ini berupa studi kasus yang dilakukan di Desa Bungku, Jambi; Desa Muara Tae, Kalimantan Timur dan Desa Trimulya,
Kalimantan Barat. Penelitian menemukan bahwa kehadiran perusahaan mengakibatkan pergeseran pola konsumsi masyarakat di wilayah penelitian. Sebelumnya, warga masyarakat dengan bebas mengambil berbagai sumber daya alam yang diperlukan untuk kehidupannya dari alam di sekitarnya, namun sejak kehadiran perusahaan, masyarakat sepenuhnya harus mengandalkan sistem pasar untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya.
Secara rata-rata, sebanyak 36,79% dari nilai komoditas konsumsi responden saat ini, bisa didapatkan tanpa harus membeli di masa lalu (kini beli). Lebih lanjut, diestimasikan setiap rumah tangga harus menanggung biaya konflik rata-rata sebesar Rp. 41.754.672,00 per tahun. Penelitian ini menemukan bahwa dampak konflik itu lebih dirasakan justru oleh keluarga yang memiliki kebun sawit dan atau ikut serta dalam skema inti-plasma dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki kebun sawit dan/atau ikut serta dalam skema inti-plasma. Keluarga yang memiliki kebun sawit dan/atau ikut serta dalam skema inti-plasma mengalami tingkat penurunan konsumsi yang lebih besar yaitu 37,35% dan menanggung total biaya konflik sebesar Rp. 51.617.040,00.
Unduh: Ringkasan eksekutif | Infografis | Rangkuman dalam bahasa inggris
Biaya Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam dari Perspektif Masyarakat.
Selain kajian tentang biaya konflik dari perspektif perusahaan, CRU juga memprakarsai kajian tentang beban masyarakat yang harus menghadapi konflik. Salah satu akibat banyak kasus konflik lahan dan sumber daya alam adalah biaya konflik yang harus ditanggung oleh masing-masing pihak, termasuk oleh masyarakat. Studi ini mencoba untuk mengukur berapa besar biaya dan kerugian akibat konflik tanah dan sumber daya alam yang ditanggung oleh rumah tangga warga masyarakat. Kajian ini berupa studi kasus yang dilakukan di Desa Bungku, Jambi; Desa Muara Tae, Kalimantan Timur dan Desa Trimulya, Kalimantan Barat. Penelitian menemukan bahwa kehadiran perusahaan mengakibatkan pergeseran pola konsumsi masyarakat di wilayah penelitian. Sebelumnya, warga masyarakat dengan bebas mengambil berbagai sumber daya alam yang diperlukan untuk kehidupannya dari alam di sekitarnya, namun sejak kehadiran perusahaan, masyarakat sepenuhnya harus mengandalkan sistem pasar untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya.
Secara rata-rata, sebanyak 36,79% dari nilai komoditas konsumsi responden saat ini, bisa didapatkan tanpa harus membeli di masa lalu (kini beli). Lebih lanjut, diestimasikan setiap rumah tangga harus menanggung biaya konflik rata-rata sebesar Rp. 41.754.672,00 per tahun. Penelitian ini menemukan bahwa dampak konflik itu lebih dirasakan justru oleh keluarga yang memiliki kebun sawit dan atau ikut serta dalam skema inti-plasma dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki kebun sawit dan/atau ikut serta dalam skema inti-plasma. Keluarga yang memiliki kebun sawit dan/atau ikut serta dalam skema inti-plasma mengalami tingkat penurunan konsumsi yang lebih besar yaitu 37,35% dan menanggung total biaya konflik sebesar Rp. 51.617.040,00.
Unduh: Ringkasan eksekutif | Infografis | Rangkuman dalam bahasa inggris
2. Konflik Lahan dan Pengelolaan Kekayaan Alam
Tata ruang, Kepastian Lahan dan Konflik; Tumbukan Klaim Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan: Di antara Tuntutan Pertumbuhan Ekonomi, Dinamika Kebijakan dan Laju Investasi Lahan.
Konflik lahan dan sumber daya alam di Indonesia yang nampak, sesungguhnya merupakan puncak gunung es dari sejumlah masalah maupun faktor lain yang tidak tampak karena berada di bawah permukaan. Salah satu faktornya adalah dinamika perubahan kebijakan yang terus terjadi di tengah tuntutan pertumbuhan ekonomi.
Di samping itu, tingginya tingkat permintaan lahan untuk berbagai kepentingan, antara lain perluasan industri berbasis lahan skala besar seperti perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI) untuk mendukung industri kertas, dan pertambangan, tidak diimbangi dengan kepastian hukum kebijakan tata ruang. Padahal kebijakan tata ruang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.
Studi kasus kajian tata ruang, kepastian lahan dan konflik tumbukan klaim lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan ini mengungkap bukti empiris adanya potensi konflik yang muncul ketika proses penetapan tata ruang tidak tuntas. Ketidaktuntasan tersebut memunculkan celah-celah kesempatan yang kemudian dimanfaatkan oleh beberapa pihak sebagai “pembenaran” akan tindakannya. Disinilah pentingnya memasukkan analisa tata ruang dalam pembacaan kasus konflik berbasis lahan untuk dapat membaca kasus secara menyeluruh dan merancang penyelesaian kasus yang tuntas.
Unduh: Hasil kajian
Pembelajaran yang Diperoleh dari Mediasi Konflik Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia dan Negara Lain
Dalam perjalanannya proses mediasi tidak hanya menghilangkan sengketa dan menghasilkan kesepakatan, namun berpeluang mentransformasikan hubungan para pihak menjadi hubungan yang saling menguntungkan. Namun untuk mencapai hal itu seorang mediator atau pun tim mediator harus berperan ganda yaitu sebagai fasilitator, penasehat dan pengembang kapasitas para pihak yang berkonflik .
Demikian temuan dari penelitian tentang “Praktik Terbaik Mediasi Konflik Sumber Daya Alam di Indonesia dan Negara Lain”. Penelitian ini merupakan perwujudan komitmen Conflict Resolution Unit (CRU) dalam upayanya mendukung praktek terbaik mediasi konflik terkait sumber daya alam dan lahan di Indonesia.
Temuan ini menyatakan bahwa peran ganda mediator memberikan ruang lebih luas untuk memahami para pihak dan mengenali kepentingan masing-masing sehingga mampu merumuskan rekomendasi yang dapat membantu untuk menyelesaikan masalah mereka.
Salah satu studi kasus yang dipelajari adalah perjalanan masyarakat kasepuhan Banten Karang dalam upaya mengesahkan tanah Wewengkon sebagai bagian dari tanah adat. Dalam kasus tersebut , pemetaan partisipatif yang dilakukan bersama masyarakat kasepuhan Banten Kidul menjadi salah satu tahapan penting dalam proses penyelesaian konflik. Tidak hanya menghasilkan peta, namun proses pemetaan partisipatif juga membuka ruang bagi anggota kasepuhan untuk memikirkan keberlanjutan wilayahnya.
Dengan menggunakan pendekatan analisis komparatif, penelitian ini mempelajari proses penyelesaian konflik, termasuk didalamnya mengenali bagian-bagian penting dari setiap proses penyelesaian konflik.
Unduh: Ringkasan Eksekutif | Laporan
3. Pengembangan Metodologi Penanganan Konflik Lahan dan Sumber Daya Alam
Seka Sengketa: Pergulatan Pengalaman Resolusi Konflik.
Adanya tumpukan kasus konflik agraria menyiratkan pertanyaan tentang efektivitas pendekatan resolusi konflik yang digunakan. Bagaimana pendekatan resolusi konflik diterapkan dalam membantu para pihak yang berkonflik mencapai kesepakatan damai di antara mereka, dan bahkan menuju kerjasama yang diharapkan bersifat jangka panjang. Conflict Resolution Unit (CRU) bekerja sama dengan Program Forest and Climate Change (FORCLIME), GIZ, memprakarsai proyek pendokumentasian pengalaman dan pembelajaran mediasi multipihak dalam upaya pengelolaan dan penyelesaian konflik agraria di Indonesia.
Dokumentasi ini mencoba merekam pembelajaran dari pengalaman mediasi dan sekaligus membuat analisis kritis pengalaman tim mediator yang terlibat yang didukung baik oleh CRU maupun oleh FORCLIME.
Unduh: Hasil Laporan | Rangkuman Bahasa Inggris