Kepentingan, Peran, dan Peluang Akademisi dalam Mitigasi Risiko Konflik dan Penanganan Konflik Lahan dan Kekayaan Alam
26 September 2024Indonesia, sebagai negara yang kaya sumberdaya alamnya, kerap mengalami konflik lahan dan kekayaan alam. Konflik tersebut seringkali melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti masyarakat adat atau lokal, perusahaan, pemerintah, dan bahkan lembaga internasional. Konflik tersebut semakin rumit dengan adanya tumbukan kepentingan antara pertumbuhan ekonomi, pelestarian lingkungan hingga kesejahteraan masyarakat.
Seiring dengan meningkatnya investasi di sektor sumberdaya alam, konflik lahan dan kekayaan alam menjadi isu yang makin kompleks dan memicu ketidakstabilan sosial yang akhirnya menjadi beban bagi para pemangku kepentingan. Karena itulah upaya penanganan dan mitigasi risiko konflik menjadi sesuatu yang mendesak. Salah satu aspek penting dalam penanganan konflik adalah pengetahuan yang memadai tentang pokok konflik serta dinamika subjek dan objeknya. Pemahaman dan penguasaan akan pengetahuan ini merupakan hal yang mendasar jika kita ingin mencari pilihan-pilihan jalan keluar dari permasalahan atau konflik yang dihadapi. Disinilah peran akademisi sangat diharapkan.
Sebagai kelompok yang memiliki akses terhadap pengetahuan dan metode penelitian yang terstruktur dan sistematik, akademisi dapat memberikan analisis mendalam yang menjadi dasar bagi mitigasi risiko konflik dan penanganan konflik. Keunggulan yang dimiliki oleh akademisi adalah kesempatan untuk melakukan asesmen kasus secara objektif (sedekat mungkin pada objek) tanpa bias kepentingan. Dengan demikian, pokok konflik, termasuk sumbernya, serta berbagai faktor yang mempengaruhinya dapat teridentifikasi secara objektif dan pada akhirnya dapat membantu para pihak yang berkonflik untuk menjajaki pilihan-pilihan jalan keluar. Dengan citra objektif dan tidak berpihak inilah, hasil asesmen akademisi kemungkinan lebih dapat diterima oleh para pihak yang berkonflik.
Kampus juga berpotensi menyediakan calon-calon kader untuk prakarsa mitigasi risiko dan penanganan konflik. Melalui program magang, tugas akhir, dan kegiatan kemahasiswaan lainnya, mahasiswa dapat belajar langsung melalui keterlibatan dalam proses penanganan konflik (learning by doing). Dengan demikian, sejak dini, mahasiswa dapat memahami dinamika konflik dan dapat mengembangkan diri menjadi praktisi di bidang penanganan konflik, misalnya asesor dan mediator yang efektif.
Sementara, upaya mitigasi risiko konflik memerlukan pendekatan jangka panjang. Salah satu cara yang paling efektif adalah melalui pendidikan. Akademisi dapat memperkuat kampus sebagai tempat produksi dan reproduksi pengetahuan yang relevan. Misalnya dengan memasukkan materi tentang Alternatif Dispute Resolution (ADR) ke dalam kurikulum perkuliahan dan bahkan menjadi tematik pada program magang sebagai bagian dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Melalui kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat, akademisi memiliki ruang dan peluang menemukan pembelajaran serta inspirasi terkait praktik-praktik cerdas dalam penanganan konflik dan merumuskan pendekatan-pendekatan yang inovatif sebagai pengembangan kurikulum ADR serta pelatihan bagi para pengajar.
Menjadi tantangan dalam hal ini adalah kenyataan bahwa selama ini ADR baru menjadi perhatian segelintir akademisi di fakultas hukum yang berorientasi sosio-legal, sementara arus utama dalam dunia akademik hukum cenderung kearah legalisme formal. Lebih dari itu, sesungguhnya ADR adalah metodologi interdisipliner yang diperkaya oleh berbagai disiplin keilmuan lain seperti psikologi, antropologi, ekonomi, politik, sosiologi, bahkan diplomasi dan filsafat sehingga dapat memberikan pertimbangan alternatif solusi yang lebih holistik. Selanjutnya, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kampus, dan organisasi kemahasiswaan lainnya dapat menjadi wadah strategis bagi akademisi dalam mendalami isu penanganan konflik. Kolaborasi antara akademisi dan lembaga-lembaga ini dapat memperkuat kapasitas institusi kampus dalam memberikan kontribusi bagi masyarakat. Bahkan tidak menutup kemungkinan kampus untuk bekerjasama dengan lembaga-lembaga independen yang bekerja dalam mitigasi risiko konflik dan penanganan konflik, seperti halnya CRU Indonesia.
Namun, Pertanyaan utama yang sering muncul adalah, apakah dalam kenyataannya keterlibatan akademisi dalam penanganan konflik dimungkinkan? Pengalaman menunjukan bahwa pengajaran, sebagai salah satu Tri Dharma perguruan tinggi, sering menjadi prioritas utama para akademisi dan menyita waktu dan energi sebagian besar dosen sehingga seringkali dharma penelitian dan pengabdian masyarakat sering kurang dioptimalkan. Lebih jauh lagi sebagai agen dari perubahan, mampukah akademisi menghadapi tekanan politik dan ekonomi yang sering kali mempengaruhi hasil penelitian dan pilihan-pilihan jalan keluar yang dapat diterima oleh para pihak?
Peluang untuk membalikan keadaan, namun demikian, terbuka. Dosen terutama di tingkat pasca sekarang ini diharapkan memberikan porsi lebih besar pada program penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Paradigma teaching university hendak digeser menjadi research based university. Bagi pembelajaran (ilmu) hukum, itu berarti mendekatkan kajian teoritis pada praktik hukum atau hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Di samping itu perlu juga diperhatikan perkembangan pemikiran tentang restorative justice sebagai salah satu bentuk resolusi konflik dan penyisipannya ke dalam sistem peradilan (pidana-perdata-tata usaha negara dan lainnya).