Konflik Lahan dan Perubahan Iklim: Di Balik Ketegangan yang Mengancam Masa Depan

Konflik lahan dan kekayaan alam terus memanas seiring dengan suhu bumi yang meningkat. Di Indonesia, respons terhadap perubahan iklim masih belum mengakomodasi secara bermakna pentingnya respons terhadap konflik lahan. Padahal respons terhadap perubahan iklim, melalui adaptasi dan mitigasi, terutama pada sektor lahan dan kehutanan, bersumber pada masalah yang sama, yakni ketidakpastian regulasi dan eksploitasi sumber daya tanpa cukup mempertimbangkan keberlanjutan.
Dampak dari ketidakamanan tenurial semakin memburuk, ketika hujan tak kunjung datang dan kemarau makin panjang, warga masyarakat adat dan lokal di beberapa daerah menghadapi kenyataan pahit bahwa lahan subur semakin sulit ditemukan. Ketika lahan yang selama ini menjadi sumber kehidupan tidak dapat ditanami karena kemarau berkepanjangan akibat perubahan iklim, tekanan untuk bertahan hidup memaksa mereka mencari lahan baru — tetapi masalahnya, lahan-lahan itu sering kali sudah diklaim atau ditempati pihak lain, baik masyarakat lokal maupun perusahaan. Inilah awal mula ketegangan dan konflik yang meruncing. Demikian halnya dengan para pelaku usaha, dimana dampak perubahan iklim di atas mendorong mereka cenderung untuk mendapatkan lahan lain ketimbang meningkatkan produktivitas lahan yang ada. Namun perluasan lahan tersebut sering bertabrakan dengan ruang hidup dan wilayah kelola masyarakat, akibat lemahnya tata kelola perizinan.
Ketiga aktor yang terlibat dalam konflik; masyarakat, perusahaan, dan pemerintah – berkelindan dalam siklus yang semakin rumit: Perubahan iklim memicu konflik lahan, sementara konflik lahan menciptakan ketidakamanan tenurial yang kemudian menghambat upaya-upaya adaptasi dan mitigasi dengan pengelolaan lahan dengan rencana jangka-panjang yang berkelanjutan.
Sementara itu, perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali — seperti alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan dan industri — meningkatkan laju deforestasi secara masif. Ketika ekosistem hutan menyusut, kemampuan penyerapan karbon dioksida menurun drastis, mempercepat laju perubahan iklim. Akibatnya, siklus degradasi lingkungan terus berulang: Perubahan iklim, hutan hilang, suhu naik, kemarau berkepanjangan, lahan mengering, dan memicu konflik baru. Kondisi ini tidak hanya memperburuk krisis ekologi, mengancam keberlanjutan hidup masyarakat yang bergantung pada lahan dan kekayaan alam.
Terkait hal itu, pada 2015 Kamar Dagang dan Industri (KADIN) memprakarsai Conflict Resolution Unit (CRU) dengan dukungan dari UK Climate Change Unit (UKCCU). Harapannya, upaya-upaya mengurangi risiko dan menangani konflik lahan dan sumber daya alam akan berkontribusi pada upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui upaya membangun dialog positif antara pelaku usaha dan masyarakat lokal. Asumsinya adalah bahwa melalui resolusi konflik para pihak mendapatkan keamanan tenurial dan dapat mengelola lahannya untuk jangka-panjang. Di sisi lain, inisiatif ini pun bertujuan menciptakan iklim usaha yang kondusif menuju bisnis yang berkelanjutan.
Selama lima tahun, hingga pendanaan dari UKCCU berakhir pada Maret 2020, CRU berhasil menangani beberapa konflik lahan dan pengalaman tersebut memberikan beberapa pembelajaran mengenai dinamika kompleks antara masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah terkait konflik lahan dan kekayaan alam. Bagi masyarakat lokal dan adat, konflik lahan adalah ancaman nyata terhadap masa depan kehidupan mereka. Akses terhadap sumber daya alam yang sebelumnya gratis kini tertutup, bahkan ada yang berujung pada proses hukum. Di sisi lain, pelaku usaha menghadapi kerugian finansial akibat terhambatnya produksi dan meningkatnya biaya operasional karena kejadian konflik lahan. Sementara bagi pemerintah, konflik lahan menurunkan reputasi daerah dan kepercayaan investor.
Namun, satu tantangan besar yang dihadapi CRU adalah terbatasnya peluang-peluang sumber pendanaan terhadap isu konflik lahan dalam agenda besar perubahan iklim. Fokus dalam sepuluh tahun terakhir terkait perubahan iklim cenderung pada pengurangan emisi dan rehabilitasi hutan, yang diukur dalam satuan hektar atau ton CO2. Konflik dianggap sebagai masalah “hilir” — seperti kebakaran yang hanya perlu dipadamkan, bukan dicegah dari akarnya. Meskipun disadari, keamanan tenurial masyarakat lokal dan adat menjadi salah satu kunci adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, tetapi perspektifnya masih pada konteks “hulu”, yakni pada perubahan kebijakan, karena adanya realita bahwa keamanan tenurial masyarakat lokal dan adat belum menjadi prioritas yang bermakna dalam kebijakan nasional.
Tantangan lain adalah kenyataan bahwa pertimbangan perubahan iklim dan lingkungan hidup sering belum menjadi pertimbangan para pihak dalam mencari penyelesaian konflik diantara mereka. Fokus penyelesaian konflik cenderung lebih jangka pendek, menyangkut kepentingan langsung para pihak yang berkonflik. Padahal konflik memiliki dimensi pengaruh yang lebih luas, baik secara sosial, ekonomi maupun ekologi.
Pembelajaran penting ini membuka mata CRU bahwa penanganan konflik lahan dan sumber daya alam bukan sekadar soal mediasi, tetapi harus menjadi bagian dari solusi besar untuk keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup. Jika konflik lahan terus diabaikan, bukan hanya masyarakat lokal dan adat yang akan kehilangan masa depannya — kita semua akan menanggung akibat dari krisis iklim yang semakin parah.