Mediasi Menjadi Solusi Efektif Mencegah Konflik Lahan
14 Maret 2017Sengketa atau konflik lahan khususnya di wilayah perkebunan di Indonesia adalah yang paling tinggi di dunia dan dalam banyak kasus tidak ada penyelesaian yang efektif. Bahkan, berdasarkan hasil penelitian Daemeter Consulting untuk Conflict Resolution Unit (CRU) Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) biaya yang terakumulasi akibat konflik sosial sangat signifikan dan berpotensi menghambat produktivitas perusahaan.
Kadin Indonesia pun menyambut baik temuan penelitian ini sebagai panggilan bagi dunia usaha untuk bertindak. Guna mengetahui hasil penelitian tersebut, berikut wawancara Koran Jakarta dengan Program Director Conflict Resolution (CRU) IBCSD, Navitri Putri Guillaume. Berikut petikannya.
Di dalam penelitian CRU terungkap biaya yang terakumulasi akibat konflik sosial di perkebunan sawit sangat signifikan dan berpotensi menghambat produktivitas perusahaan, bisa dijelaskan?
Hasil kajian beberapa studi kasus dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kerugian berwujud yang langsung dialami bisnis kelapa sawit akibat dari konflik sosial dapat mencapai 2,5 juta dollar AS. Jumlah ini mewakili 51 persen hingga 88 persen dari biaya operasional perkebunan kelapa sawit, atau 102 persen hingga 177 persendari biaya investasi per hektar per tahun. Kerugian biaya terbesar disebabkan hilangnya pendapatan operasional perkebunan dan waktu kerja para karyawan yang dialokasikan untuk menanggulangi konflik sosial tersebut.
Sebenarnya apa tujuan dari penelitian ini?
Jadi fokus dari CRU adalah memberikan jasa dan dukungan bagi proses mediasi konflik lahan dan sumber daya alam di Indonesia. Intinya kami dapat membuktikan atau menunjukkan bahwa mediasi dapat menjadi sebuah solusi efektif untuk mencegah konflik lahan dan sumber daya alam. Jadi kami mencoba memberikan kesimpulan tentang rumus bagaimana menghitung biaya konflik.
Di mana lokasi penelitian konflik ini?
Kami meneliti 5 kasus itu di Sumatera dan Kalimantan. Kami tidak bisa menyebutkan nama perusahaan ataupun lokasi tepatnya penelitian namun kami memulai dari tahun lalu sampai selama 1 tahun. Metodenya kita berusaha untuk mendapatkan informasi pertama dari perusahaan yang berkonflik dari masyarakat yang berkonflik dengan masyarakat itu dan juga dari beberapa orang yang terlibat dalam mediasi konflik. Jadi kita wawancara langsung dan ada beberapa studi data atau catatan kliping tentang konflik. Kebetulan kasus yang kita lihat itu adalah kasus yang sudah selesai jadi ada yang prosesnya 6 bulan atau 1 tahun, ada yang 9 tahun juga ada. Dengan demikian, kita mendapatkan informasi berapa banyak yang mereka keluarkan untuk menyelesaikan kasus sehingga bisa ditarik hikmahnya untuk dijadikan bahan publikasi dan juga mengedukasi pihak lain. Terus terang penelitian ini suatu hal baru yang dilakukan dan memang banyak pembelajaran kami dapat dari penelitian tersebut dan ada beberapa rekomendasi. Tapi kalau ada yang bisa dilakukan harapannya adalah dapat menginspirasi atau menjadi awal dari penelitian lainnya untuk melihat dan memahami tentang konflik sosial dan konflik lahan di Indonesia. achmad/AR-2