Membangun Kekuatan Masyarakat dalam Konflik Lahan dan Kekayaan Alam

Konflik lahan dan sumber daya alam terus menjadi masalah di berbagai wilayah Indonesia, terutama bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat. Kekayaan alam yang melimpah sering kali menjadi rebutan antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan, dan kompetisi inilah yang kemudian mencuat menjadi konflik. Salah satu hal yang kemudian menentukan bagaimana upaya penyelesaian konflik itu berjalan dan bagaimana hasilnya adalah perimbangan kekuatan antara para pihak yang berseteru. Walaupun tentu banyak perkecualiannya, dalam banyak kasus konflik antara masyarakat dan perusahaan atau pemerintah, masyarakatlah yang menjadi pihak yang lemah dan karena itu bisa jadi akan kalah dan dirugikan dalam upaya penyelesaian konflik yang bersangkutan.
Dan memang, dalam menghadapi konflik seringkali masyarakat menghadapi kendala seperti kekurangan akses terhadap informasi, disorganisasi sosial dan lemahnya kepemimpinan, perpecahan internal, dominasi tokoh, minimnya dukungan dari lembaga-lembaga lain, sehingga posisi tawar mereka lemah. Ketika kemudian berhadapan dengan kekuatan besar dalam konflik lahan, masyarakat dapat diintimidasi, diadu-domba, dipaksa, bahkan dikriminalisasi, sehingga perjuangan mereka untuk mendapatkan keadilan menjadi sangat berat. Mediasi dan mekanisme penyelesaian konflik alternatif lainnya bisa jadi masih dimungkinkan, tetapi akan menjadi jalan yang sangat terjal.
Dapat disimpulkan bahwa untuk penanganan konflik yang adil dan efektif diperlukan penguatan posisi tawar melalui pemberdayaan masyarakat dengan berbagai cara, antara lain dengan penyadaran akan masalahnya, membangun kekompakan internal, membuka akses terhadap informasi, menggalang koalisi dan dukungan eksternal, belajar keterampilan bernegosiasi, dan sebagainya. Masyarakat yang terorganisasi dengan baik, memiliki informasi yang cukup, dan mendapatkan dukungan yang memadai, akan lebih mungkin mencapai penyelesaian yang adil dan berkelanjutan. Karenanya, mulai saat asesmen suatu konflik, masalah kekuatan para pihak perlu mendapat cukup perhatian. Peran pendampingan dan lembaga pendamping menjadi sangat penting dan menentukan dalam hal ini.
Tetapi perlu kita ingat pula bahwa ini baru sebagian ceritanya. Tentu sangat baik jika dengan pendampingan yang baik warga masyarakat dapat mempersiapkan diri sehingga dapat masuk ke kancah perundingan dengan kekuatan yang memadai dan dapat memperjuangkan kesepakatan win-win solution yang adil. Tetapi sering disinilah masalah kekuatan muncul kembali; yakni kekuatan untuk melaksanakan kesepakatan yang telah dicapai serta kekuatan untuk “menagih janji” pelaksanaan kesepakatan dari pihak-pihak lain yang menjadi bagian dari kesepakatan tersebut. Dalam pengalamannya CRU Indonesia menjumpai berbagai kasus konflik sumberdaya alam yang walaupun diselesaikan melalui perundingan yang menghasilkan kesepakatan yang dianggap baik, konflik itu tetap berlanjut secara berkepanjangan. Hal ini disebabkan karena para pihak tidak punya kekuatan yang cukup untuk melaksanakan kesepakatan itu dan tidak mampu pula menuntut pihak lain untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi kesepakatan.
Singkat kata, mencapai kesepakatan melalui perundingan barulah separuh perjalanan dan kekuatan dalam konflik lahan dan kekayaan alam tidak hanya diukur dari kemampuan bernegosiasi, tetapi juga dari kemampuan melaksanakan dan mempertahankan kesepakatan dalam jangka panjang. Untuk itu, membangun kekuatan diperlukan bukan saja untuk membangun “posisi tawar” guna berunding dengan baik, tetapi juga diperlukan upaya membangun kekuatan dengan wawasan jangka-panjang untuk dapat melaksanakan kesepakatan dan bekerjasama dengan pihak-pihak lainnya dalam hal itu. Bahkan, lebih dari itu, diperlukan kekuatan untuk mengurangi kemungkinan munculnya konflik-konflik baru di kemudian hari, menanggapinya dengan baik agar dapat segera diselesaikan tanpa eskalasi, bahkan jika mungkin mencegahnya.
Dengan wawasan jangka-panjang seperti itu, kekuatan yang perlu dibangun bukan saja kekompakan sesaat, tetapi pemberdayaan yang lebih luas. Ketahanan ekonomi, adalah kunci untuk melindungi masyarakat dari tekanan ekonomi atau iming-iming kompensasi yang tidak adil. Pendidikan dan peningkatan kapasitas memberdayakan masyarakat untuk memahami strategi negosiasi dan aspek hukum dalam konflik lahan sangat dibutuhkan. Lebih dari sekadar perundingan, masyarakat harus memastikan bahwa kesepakatan ditegakkan. Penguatan elemen-elemen ini meningkatkan daya tawar masyarakat dan efektivitas perjuangan hak-hak mereka. Pendamping masyarakat memainkan peran penting dalam membantu komunitas memahami hak-hak mereka, merancang strategi advokasi, dan menghubungkan mereka dengan jaringan pendukung yang luas.