Mengapa Perlu Perwakilan yang Representatif dalam Perundingan/Mediasi?
26 April 2022Ketika suatu konflik lahan atau sumberdaya alam akan ditangani, seringkali suatu lembaga pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat memprakarsasi suatu musyawarah atau perundingan dengan mengundang pihak-pihak yang berkonflik untuk berdialog. Para pihak pun segera mengirimkan perwakilannya.
Siapakah perwakilan ini? Dalam suatu perselisihan atau sengketa sederhana tidak diperlukan perwakilan karena biasanya yang berunding adalah para pihak yang berselisih atau bersengketa itu sendiri. Namun dalam konflik yang melibatkan para pihak yang merupakan kelompok kolektif, seperti kelompok masyarakat atau perusahaan, dengan ataupun tanpa struktur organisasi, maka perwakilan akan diperlukan.
Jika yang merebak adalah konflik antara perusahaan dan masyarakat, maka biasanya perusahaan diwakili oleh staf perusahaan yang biasanya secara langsung berhadapan dengan masyarakat, seperti staf humas atau staf CSR. Pada beberapa kasus perusahaan mengutus pejabat pengambil keputusan, seperti manajer, di tingkat lapangan untuk maju berunding. Sementara warga masyarakat yang datang ke perundingan adalah tokoh-tokoh masyarakat.
Mengadakan musyawarah atau perundingan tentu tidak salah, namun inisiatif baik ini terkadang penuh dengan kesegeraan hingga akhirnya para pihak melewatkan suatu proses yang memadai untuk menentukan perwakilanmereka yang akan berunding. Akibatnya dalam perundingan perwakilan para pihak tidak dapat mengambil keputusan karena tidak merasa mendapatkan amanat dan berkewenangan mengambil keputusan. Kalaupun mereka mengambil keputusan, seringkali keputusan tersebut tidak dapat diterima atau tidak didukung oleh pihaknya atau bahkan dipertanyakan dan digugat oleh pemangku kepentingan sebenarnya yang muncul baru kemudian.
Jika para pihak memilih jalur mediasi sebagai proses penyelesaian konfliknya, mereka perlu menyadari bahwa adanya perwakilan para pihak dalam proses mediasi merupakan salah satu prasyarat kelayakan mediasi itu sendiri. Jika hal ini tidak dipenuhi atau para pihak tidak bisa menentukan wakilnya yang dapat bertindak dan mengambil keputusan atas nama kelompoknya maka mediasi tidak layak untuk dilakukan.
Salah satu tantangan klasik lembaga pemrakarsa mediasi sebagai pihak penengah adalah mendapatkan perwakilan yang benar-benar merepresentasikan para pihak, khususnya perwakilan dari kelompok kolektif dengan struktur organisasi yang kompleks. Di dalam masyarakat, seringkali ada fenomena bias elit, yakni munculnya tokoh-tokoh dominan yang bersuara dan mengambil keputusan dengan mengatasnamakan masyarakat luas. Padahal bisa jadi suara mereka tidak senada dengan kepentingan masyarakat, bahkan bisa jadi para tokoh ini justru membajak proses penyelesaian konflik demi kepentingannya sendiri.
Tantangan lain terjadi di perusahaan, sering terjadi staf yang ditunjuk untuk mewakili perusahaan di meja perundingan tidak memiliki kewenangan khusus untuk mengambil keputusan. Akibatnya, jalannya perundingan terhambat karena perwakilan perusahaan tersebut tidak dapat mengambil keputusan tentang opsi-opsi penyelesaian konflik, misal tidak dapat menentukan nilai ganti rugi ataupun mengalihkan sebagian lahan konsesi kepada masyarakat.
Untuk mencegah hal tersebut, adalah tugas mediator untuk memastikan bahwa para juru runding yang terlibat dalam proses perundingan benar-benar mewakili konstituennya dan mempunyai mandat yang jelas. Dan hal ini perlu dimulai sebelum perundingan melalui peran engagement/pelibatan, misalnya saat proses asesmen yang partisipatif. Jika proses kajian ini dilakukan dengan baik, agenda perundingan dan pemahaman tentang pokok-pokok konfliknya serta kepentingan spesifik sebagai mandat yang perlu diperjuangkan akan muncul dan dapat disepakati.
Bagaimana hal tersebut dilakukan? Pertama diperlukan suatu proses internal untuk dapat menyepakati perwakilan yang dapat merepresentasikan berbagai kepentingan, dipercaya dan mendapat amanat dari semua kelompok untuk berunding dan mengambil keputusan. Dengan ini, keputusan yang diambil merupakan kepentingan bersama dan dapat diterima oleh kelompoknya. Proses ini perlu dilakukan terutama jika para pihak adalah kelompok–kelompok masyarakat dengan berbagai kepentingannya. Demikian pula untuk pihak perusahaan, juru runding yang dikirim harus mempunyai kewenangan yang cukup sehingga dapat mengambil keputusan yang dapat dijalankan.
Singkatnya, para pihak, utamanya para pihak yang merupakan kumpulan kolektif dan bukan individual, perlu membangun proses penentuan wakil yang tepat, dengan kriteria perwakilan yang disepakati. Mediator perlu mendiskusikan masalah perwakilan ini secara terpisah (kaukus) dengan masing-masing pihak.
Tantangan lain dalam hal keterwakilan adalah bahwa para pihak, khususnya masyarakat, belum tentu demokratis dan memiliki sistem perwakilan yang terstruktur. Hal ini ditemui baik di kelompok masyarakat hingga kelompok masyarakat adat. Oleh karenanya, masyarakat sangat mengandalkan tokoh-tokoh, dan sekalipun ada mekanisme musyawarah, seringkali suara tokoh sangat dominan sehingga fenomena bias elit tetap terjadi.
Tantangan selanjutnya adalah memastikan komunikasi yang memadai antara para wakil dengan konstituennya. Walaupun sudah diberikan amanat, jika diperlukan dalam perundingan pun, para pihak harus diberi kesempatan untuk berkonsultasi dengan mereka yang diwakili. Juga perlu dipastikan bahwa setelah mencapai kesepakatan para perunding kembali kepada para pihak yang diwakilinya untuk menyampaikan kesepakatan damai yang telah dicapai agar menjadi komitmen bersama yang dapat dijalankan..