Mengelola Risiko dan Menangani Konflik Lahan dan Kekayaan Alam Berbasis Hak Asasi Manusia

Konflik lahan dan kekayaan alam di Indonesia merupakan persoalan struktural yang terus berulang, dengan dampak luas terhadap kehidupan masyarakat, terutama komunitas adat dan petani kecil. Persoalan ini tidak semata menyangkut konflik kepemilikan atau batas administratif, tetapi juga menyentuh hak-hak dasar seperti hak atas pangan, lingkungan hidup yang sehat, budaya, identitas, dan keberlanjutan hidup, yang kesemuanya merupakan hak-hak yang diakui secara universal sebagai hak asasi manusia1
Dalam konteks ini, pendekatan berbasis hak asasi manusia (HAM) menjadi penting tidak hanya untuk menyelesaikan konflik, tetapi juga untuk mengurangi risiko terjadinya. Tanah dan kekayaan alam bukan sekadar aset ekonomi, melainkan juga fondasi eksistensial masyarakat lokal. Hak atas tanah telah diakui sebagai bagian dari HAM, termasuk hak kolektif masyarakat adat atas wilayah leluhur mereka, yang menjadi dasar integritas budaya.
Salah satu prinsip kunci dalam pendekatan ini adalah Free Prior Informed Consent (FPIC) atau persetujuan atas dasar informasi yang lengkap, tanpa paksaan, dan diberikan sebelum dimulainya suatu kegiatan. Ketika komunitas kehilangan akses terhadap tanah tanpa FPIC, maka terjadi pelanggaran HAM. Konsultasi yang bermakna untuk memperoleh FPIC bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga langkah strategis untuk mencegah resistensi sosial dan membangun kepercayaan.
Penanganan konflik berbasis HAM mensyaratkan beberapa elemen kunci. Pertama, membangun komitmen semua pihak untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM. Kedua, membangun kesetaraan dalam relasi kuasa antara pihak yang terlibat. Hal ini memerlukan analisis konflik yang menyeluruh, termasuk pemetaan aktor, relasi kuasa yang timpang, serta bentuk pelanggaran hak yang terjadi. Penanganan konflik harus inklusif, aman, dan menghormati norma lokal yang sejalan dengan prinsip HAM.
Pendekatan ini juga memperhatikan dimensi hak ekonomi, sosial, dan budaya. Perubahan fungsi lahan yang menyingkirkan akses masyarakat terhadap air, hutan, atau lahan pertanian dapat berdampak langsung pada keberlangsungan hidup mereka. Oleh karena itu, pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan perusahaan, perlu merancang pendekatan yang adaptif, partisipatif, dan berbasis hak.
Eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali juga menimbulkan dampak lingkungan yang berujung pada pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang sehat, sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009. Kerusakan ini turut memperbesar risiko perubahan iklim yang memperparah kerentanan komunitas. Maka, integrasi antara perlindungan lingkungan dan HAM harus menjadi bagian dari strategi mitigasi risiko konflik.
Konflik yang tidak ditangani dengan tepat juga seringkali berkembang menjadi kekerasan atau kriminalisasi terhadap warga dan pembela hak-hak lingkungan. Perlindungan terhadap hak untuk berkumpul, menyatakan pendapat, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan harus dijamin sebagai bagian dari strategi penyelesaian konflik. Organisasi masyarakat sipil dan komunitas yang kuat merupakan prasyarat penting untuk penanganan konflik yang konstruktif dan adil.
Penanganan konflik yang baik bukan hanya berfungsi sebagai pemulihan atas pelanggaran yang terjadi, tetapi juga mencegah terjadinya konflik baru di masa depan. Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (UNGPs) dapat menjadi acuan penting dalam hal ini. Negara wajib melindungi hak masyarakat melalui reformasi kebijakan, sistem perizinan yang adil, serta pelaksanaan konsultasi yang bermakna. Perusahaan pun perlu melakukan uji-tuntas HAM secara berkala dan aktif memetakan risiko sosial dan ekologis dari kegiatannya.
Dengan menjadikan HAM sebagai landasan, upaya mitigasi dan penanganan konflik tidak hanya fokus pada resolusi masalah, tetapi juga memperkuat relasi antar aktor, memperbaiki tata kelola sumber daya, dan membangun sistem yang berkelanjutan dan inklusif.
Singkat kata, mitigasi risiko dan penanganan konflik seharusnya menjadi mekanisme perlindungan HAM yang nyata. Sebaliknya, jika penanganan dilakukan dengan buruk, ia justru berpotensi menjadi bentuk baru pelanggaran HAM.
1.
Lihat antara lain Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 17, dan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) tahun 2007, Pasal 18 dan 25–30
Photo by Herwin Prabawananda