Penanganan Konflik dalam Agenda Reforma Agraria
27 Juni 2022Pada bulan Juni ini, isu reforma agraria menjadi hangat dikutip berkaitan dengan kegiatan Pertemuan Puncak Gugus Tugas Reforma Agraria atau GTRA Summit 2022 yang pada tanggal 8 – 10 Juni 2022 di Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pertemuan puncak ini sudah ditunggu-tunggu sebagai forum lintas sektor untuk mengkonsolidasi isu pemulihan ekonomi khususnya melalui legalisasi aset, redistribusi tanah, dan pemberdayaan masyarakat serta sekaligus menagih pelaksanaan program Reforma Agraria. Dari kacamata penanganan konflik, hal yang penting dan menarik adalah pernyataan dari level pemerintah tertinggi, yaitu Presiden Joko Widodo sendiri, bahwa konflik dan sengketa lahan telah menjadi hambatan pembangunan yang berakar dari lemahnya koordinasi antarlembaga pemerintah.
Memang, hal ini bukan hal baru, tapi pernyataan Presiden ini tentu perlu disikapi dengan serius karena kejadian konflik yang menjadi penghambat inisiatif-inisiatif pembangunan juga menjadi persoalan besar dalam implementasi Reforma Agraria yang menjadi sajian utama dalam gelaran kali ini.
Dalam konteks besar Reforma Agraria, upaya untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan menjadi salah satu tujuan, karena hal tersebut menjadi salah satu penyebab utama terjadinya berbagai konflik lahan. Artinya, apabila Reforma Agraria diharapkan menjadi solusi, maka idealnya penyelesaian konflik merupakan salah satu prasyarat dan kegiatan kunci dalam pelaksanaan Reforma Agraria
Pemberian sertipikat kepada warga masyarakat, sebagaimana dijadikan indikator keberhasilan Reforma Agraria, memang merupakan bentuk pengakuan Negara yang memberikan kepastian hak atas lahan-lahan yang selama ini didiami dan menghidupi masyarakat. Langkah itu juga bertujuan menyeimbangkan porsi penguasaan lahan. Namun demikian, ketika karena berbagai keterlanjuran kejadian di masa lalu dimana kejadian konflik lahan karena tumbukan klaim dan ketimpangan penguasaan lahan memang sudah terjadi, proses pengelolaan konflik perlu ditempuh sebelum dapat dipastikan bahwa pemberian sertipikat memang merupakan solusi yang tepatguna. Artinya, pengabaian upaya resolusi konflik dalam pelaksanaan Reforma Agraria berpotensi juga menumbuhkan benih-benih konflik baru ketika pelaksanaannya tidak optimal.
Singkat kata, Reforma Agraria membutuhkan status tanah bersih dan jelas (clean and clear) baik secara de facto mau pun de jure, agar bisa memberikan kepastian akses kelola atau kepemilikan atas lahannya dimana pengelolaan konflik diperlukan. Koordinasi lintas kementerian/lembaga, sebagaimana yang diharapkan oleh Presiden berpotensi mencegah atau pun menjadi faktor pendukung upaya penanganan konflik lahan.
Dalam upaya pengelolaan konflik, penerbitan dan pemberian sertipikat bisa jadi memang dapat menjadi salah satu upaya untuk memberikan kepastian akses atas lahan. Dapat dipahami kemudian bahwa jumlah sertipikat yang diterbitkan, baik yang termasuk dalam kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PSTL) maupun hasil redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria, dijadikan indikator keberhasilan program. Ini tentu sesuatu capaian yang berarti bagi pelaksanaan penataan agraria untuk mewujudkan keadilan agraria dan sosial bagi masyarakat. Namun demikian perlu kita ingat juga bahwa sertipikat bukanlah tujuan Reforma Agraria, melainkan sebagai alat bagi upaya mengurangi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah serta meningkatkan akses ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Di sini, sebagai praktisi penanganan konflik, ada baiknya momentum ini dimanfaatkan untuk mendorong integrasi upaya penanganan konflik agraria, secara kongkret dalam kerangka besar Reforma Agraria, seperti yang diserukan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil yang mengikuti GTRA Summit. Bahkan diusulkan dibentuknya suatu unit khusus penyelesaian konflik dalam koridor kebijakan Reforma Agraria sebagai satu langkah strategis dalam mengoptimalkan kemanfaatan kebijakan reforma agraria.
Harapannya, Reforma Agraria dapat memberikan manfaat langsung bagi masyarakat terutama terkait keselamatan tenurial apabila mengintegrasikan pendekatan yang peka konflik pada setiap tahap pelaksanaannya.