Organisasi Pendamping Masyarakat dalam Konflik Agraria dan Kekayaan Alam: Advokasi, Mediasi, Juru Bicara, atau Pendampingan?
24 Mei 2022Dalam kasus-kasus penyelesaian konflik agraria dan kekayaan alam yang ditangani, CRU sering berinteraksi dengan para pendamping masyarakat. Dalam kebanyakan kasus, pendamping ini bukan warga setempat, tetapi orang dari luar daerah yang hadir memfasilitasi masyarakat dalam suatu program atau proyek pemberdayaan masyarakat. Pendamping ini membantu masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pelaporan hingga evaluasi kegiatan tersebut. Sering juga kami temui pendamping masyarakat yang tinggal bersama masyarakat tersebut untuk jangka waktu yang relatif panjang.
Dalam mendampingi masyarakat melaksanakan program atau proyek pemberdayaan sering kali muncul konflik antara masyarakat dengan pihak-pihak luar. Contoh yang paling sering dijumpai adalah konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan pemegang konsesi perkebunan atau konsesi hutan. Ketika konflik seperti itu terjadi, karena kedekatan dan keberpihakan pada masyarakat, pendamping kerap memprakarsai kegiatan advokasi untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat atas lahan sebagai sumber kehidupan mereka. Dalam berbagai kasus prakarsa advokasi memang diperlukan dan bisa efektif juga, tetapi pertanyaannya kemudian adalah bagaimana jika jalur-jalur komunikasi sudah terbuka dan muncul peluang untuk menyelesaikan konflik yang bersangkutan melalui mediasi? Bagaimana peran lembaga pendamping dalam proses penanganan konfliknya?
Ada dua persoalan yang kemudian muncul. Persoalan pertama adalah masalah keberpihakan yang menjadi dasar dari prakarsa advokasi. Lembaga-lembaga itu mengalami kesulitan ketika harus bersikap netral dan tidak berpihak sebagaimana yang menjadi prinsip dasar dalam mediasi. Walaupun demikian, jika mediasi memang memungkinkan dan lembaga advokasi bisa menerima bahwa justru dengan sikap netral dan imparsial lembaga pendamping itu dapat membantu masyarakat, maka peran lembaga advokasi sebagai mediator mungkin dapat dipertimbangkan. Perubahan sikap – dari keberpihakan pada masyarakat menjadi netral dan tidak berpihak – merupakan perubahan yang cukup mendasar yang memang tidak mudah dilakukan. Juga tidak dapat dihindari adanya kekhawatiran bahwa netralitas akan menyebabkan lembaganya kehilangan kepercayaan dari masyarakat dampingannya. Persoalan kedua adalah bahwa lembaga yang bersangkutan tidak mempunyai wawasan, pengetahuan dan ketrampilan yang memadai tentang pendekatan penanganan konflik dan kecakapan mediasi.
Kedua persoalan itulah yang membuat lembaga pendamping masyarakat yang selama ini sering menggunakan strategi advokasi sulit menjadi pilihan terbaik. Tentu ini bukan sesuatu yang mutlak, terutama jika kedua persoalan tersebut dapat diatasi, maka peluang untuk beperan sebagai mediator terbuka.
Jika kurang tepat menjadi mediator, atau mediator tidak menjadi pilihan lembaga pendamping, bagaimana dengan kemungkinan peran lembaga pendamping menjadi wakil masyarakat dalam proses perundingan? Tidak dipungkiri bahwa pada umumnya para pendamping memiliki kemampuan berbicara lebih baik dan artikulatif sehingga potensi masyarakat menunjuk dan memberi mereka mandat sebagai juru bicara dan juru runding, sangat besar. Namun hal tersebut akan menjadi pertanyaan pihak “lawan”, terutama menyangkut legitimasi juru runding yang berasal dari lembaga pendamping. Akan muncul tudingan sebagai “mengatasnamakan masyarakat” sehingga masyarakat dituntut agar mampu mewakili dirinya sendiri. Untuk itu, penguatan kemampuan masyarakat untuk mewakili dirinya sendiri menjadi tugas lembaga pendamping.
Dalam upaya mediasi kebanyakan kasus konflik antara masyarakat dengan pihak lainnya sering kali dihadapi beberapa masalah, antara lain kesiapan masyarakat untuk berunding serta adanya ketimpangan kekuatan antara para pihak. Lembaga pendamping dapat berperan dalam membantu masyarakat untuk memahami prinsip dan proses mediasi, mengkonsolidasikan kekuatannya sebagai dasar perundingan, serta mempersiapkan tim perunding masyarakat yang benar-benar representatif dan berkemampuan bernegosiasi.
Tentu, jika memilih peran ini lembaga pendamping itu sendiri pun harus menyesuaikan diri dengan mengembangkan kemampuannya untuk peran tersebut. Lembaga pendamping perlu mengembangkan pengetahuan dan kecakapan yang cukup tentang penanganan konflik khususnya dan mediasi, analisa konflik, prinsip dan strategi negosiasi, serta bagaimana memfasilitasi proses pembelajaran warga masyarakat dan tim perunding masyarakat untuk dapat mengembangkan kapasitas yang sama. Namun tentu saja untuk hal itu membutuhkan investasi waktu dan upaya.
Foto oleh Arman Syah