Pelatihan Dokumentasi Mediasi
31 Juli 2017Sebagai bagian dari upaya mengumpulkan praktek-praktek terbaik proses mediasi di Indonesia, Conflict Resolution Unit (CRU) bermitra dengan GiZ-FORCLIME dalam prakarsa Proyek Pengkajian dan Dokumentasi Mediasi. Sebagai langkah awal, prakarsa ini memfasilitasi diselenggarakannya Pelatihan Dokumentasi Mediasi bagi tim Desk Resolusi Konflik (DRK) Kapuas Hulu.
Desk Resolusi Konflik (DRK) merupakan sebuah unit mediator berbasis daerah pertama di Indonesia yang diinisiasi dan baru diluncurkan kepada publik pada tanggal 25 Juli 2017 oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu.
Pelatihan Dokumentasi Mediasi diselenggarakan pada tanggal 26 tanggal 26 Juli hingga 28 Juli 2017 di Resort Terkenang yang terletak di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun – Danau Sentarum, Putussibau, Provinsi Kalimantan Barat. Pelatihan ini diikuti oleh sekitar 20 peserta yang terdiri dari Tim DRK, Tim Sekretariat DRK, Tim GiZ-Forclime dan tim CRU sendiri dan dipandu oleh tiga Pemandu Pengkajian (Research Facilitator).
Evaluasi kritis atau refleksi akan pengalaman personal mediator menjadi jiwa dalam proyek dokumentasi mediasi. Pemandu Pengkajian yang terdiri dari Ilya Moeliono, A. Ruwidrijarto dan Asep Mulyana memandu berbagai simulasi yang merangsang para peserta untuk merefleksikan pengalaman personal terkait mediasi dan menceritakannya dalam grup.
Refleksi memberi kesempatan lebih sensitif untuk menangkap pembelajaran utama dan dalam konteks kegiatan, refleksi mediator menyediakan ruang bagi mediator untuk memperbaiki rencana proses mediasi sesuai dengan dinamika lapangan.
“Metode yang digunakan disini adalah metode kaji tindak partisipatif, dimana bapak sebagai mediator menjadi subjek penelitian, pengalaman bapaklah nanti yang dikaji”, Ilya Moeliono menjelaskan metode kajian kepada peserta pelatihan.
Pengalaman mediator dituangkan dalam suatu jurnal atau buku catatan harian. Selanjutnya catatan harian mediator inilah yang menjadi salah satu sumber data primer untuk analisa. Tidak saja tindakan yang diambil dalam proses mediasi namun juga hal yang mendasari diambilnya suatu keputusan dalam proses mediasi hingga hal-hal kecil yang ditemui mediator ketika melaksanakan tugasnya.
Walaupun sebagian besar peserta baru mendengar metode kaji tindak partisipatif ini, namun antusias peserta cukup terasa. Pada salah satu sesi, peserta diberi kesempatan untuk mempraktekkan proses pendokumentasian proses mediasi dan merefleksikan pengalaman dalam pelatihan dokumentasi mediasi ini.
Seorang peserta menyimpulkannya “Kita harus menuliskan semua hal, pengetahuan, informasi, pengalaman, perasaan, pendapat sampai hasil pengamatan kita yang berhubungan dengan kasus sengketa. Dengan mengunjungi dan berada bersama penduduk, bergaul di desa, mengobrol dan mendengarkan serta sambil mengambil beberapa foto. Kita perlu mendapatkannya, ini tentang apa? Siapa yang berkepentingan? Apa sejarahnya? Penyebab dan akibatnya? Upaya penyelesaian yang telah diusahakan? Intensitasnya? Semuanya. Semua ditulis dalam gaya pribadi masing-masing atau bisa dengan deskriptif, refleksi dan analisa. Mungkin yang terbaik adalah kombinasi semuanya”.
Kumpulan pengalaman yang dicatat dengan telaten dan seksama oleh para mediator inilah yang nantinya akan menjadi rujukan bagi pengelolaan sengketa lahan dan sumber daya alam di Indonesia. Lebih lanjut, keluaran dari proyek ini adalah buku yang mengkodifikasi beberapa prinsip dasar dan praktek terbaik dalam mediasi sengketa lahan dan sumber daya alam di Indonesia.(RN/CRU)