Penanganan Konflik dari Perspektif Kearifan Lokal: Peluang dan Tantangan

30 Januari 2025

Kearifan lokal di Indonesia telah lama menjadi pondasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam penanganan konflik. Salah satu kearifan lokal, yakni “musyawarah untuk mufakat” dipercaya sebagai salah satu  cara penyelesaian masalah dan konflik yang khas Indonesia. Musyawarah untuk mufakat yang menekankan diskusi bersama untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak diterima sebagai bagian dari budaya di semua daerah di Indonesia.

Sebagai salah satu pendekatan dalam penyelesaian konflik, musyawarah untuk mufakat memiliki banyak keunggulan. Selain sebagai konsep budaya yang diterima secara umum,  pendekatan ini bersifat partisipatif, melibatkan semua pihak yang berkepentingan, dan mendorong kerja sama untuk mencapai solusi. Selain itu, prosesnya lebih fleksibel dan hemat biaya dibandingkan dengan litigasi formal. Dalam konteks konflik lokal dalam komunitas yang egaliter, atau ketika pihak-pihak yang terlibat memiliki nilai budaya egaliter yang serupa, pendekatan ini sangat relevan. Keputusan yang dihasilkan pun cenderung diterima lebih luas karena lahir dari kesepakatan bersama yang melibatkan seluruh pihak.

Namun, pendekatan ini tidak lepas dari berbagai tantangan. Kelemahan utama dalam prakteknya adalah tidak adanya metodologi yang sistematis. Proses musyawarah seringkali bersifat informal, tanpa aturan atau struktur yang jelas. Ketidakseimbangan kekuatan antara pihak-pihak yang terlibat juga menjadi persoalan. Dalam banyak situasi, tokoh-tokoh masyarakat menjadi pihak yang dominan dan mempengaruhi jalannya musyawarah demi kepentingannya sementara warga masyarakat lain yang hadir dalam musyawarah cenderung “menyesuaikan” pendapatnya dengan para tokoh. Akibat bias tokoh ini keputusan yang dihasilkan sering tidak sepenuhnya mengakomodasi kepentingan mayoritas yang diam (silent majority). Tantangan lain adalah bahwa upaya mencapai kesepakatan seringkali terhambat oleh perbedaan pandangan yang sulit dijembatani. Meskipun diskusi telah dilakukan, tidak jarang pihak-pihak yang terlibat tetap gagal mencapai kesepakatan. Jika tidak ada kesepakatan yang jelas penyelesaian konflik terhambat. 

Selain itu, musyawarah untuk mufakat sering kali kurang efektif dalam menangani konflik yang kompleks dan melibatkan pihak-pihak dari luar komunitas yang mempunyai latar-belakang dan kepentingan yang beragam. Untuk konflik berskala besar yang melibatkan perusahaan atau pihak eksternal lain, misalnya, musyawarah tradisional memiliki keterbatasan ketika yang dihadapi adalah masalah-masalah teknis yang rumit dan menyangkut kebijakan dan hukum negara yang lebih luas dan berada diluar ranah pengetahuan dan pengalaman masyarakat.

Meski demikian, musyawarah untuk mufakat sebagai pendekatan umum memiliki potensi besar jika diterapkan dengan kerangka kerja metodologis yang lebih terstruktur untuk memastikan proses berjalan secara seimbang dan efektif. Musyawarah dapat dilakukan mengikuti prinsip-prinsip dan tahapan Alternative Dispute Resolution (ADR) pada umumnya, seperti identifikasi para pihak dan memastikan perwakilan; kajian awal untuk menyepakati agenda musyawarah; penetapan aturan dasar; penyampaian pendapat; pengembangan evaluasi dan penyepakatan solusi; dan perencanaan pelaksanaan kesepakatan, yang tentu saja harus disesuaikan dengan konteksnya. 

Pengaruh berlebihan pimpinan musyawarah yang secara tradisional adalah tokoh dominan yang berwibawa dan berpengaruh, perlu diimbangi dengan  peran mediator yang netral dan imparsial. Hal ini sangat penting, terutama dalam konflik yang kompleks serta melibatkan berbagai pihak dengan kekuatan yang beragam dan kepentingan yang tidak seimbang. Mediator dapat membantu menjaga keseimbangan kekuasaan dan memastikan semua pihak memiliki kesempatan yang setara untuk menyampaikan pandangannya. Selain itu, penting pula bahwa proses dan hasil musyawarah yang secara tradisional menjadi memori kolektif warga komunitas, kini didokumentasikan secara resmi. Hal ini tidak hanya meningkatkan akuntabilitas tetapi juga memastikan keberlanjutan dari solusi yang disepakati.

Dalam konteks penanganan konflik lahan dan pengelolaan kekayaan alam, musyawarah untuk mufakat masih relevan sebagai pendekatan penyelesaian sengketa yang mencerminkan nilai-nilai budaya Indonesia. Namun, untuk menghadapi tantangan-tantangan yang ada, diperlukan adaptasi dan inovasi. Dengan pendekatan yang lebih terstruktur dan inklusif, falsafah dan semangat musyawarah untuk mufakat dapat menjadi dasar untuk mengembangkan solusi yang adil, berkelanjutan, dan sesuai dengan budaya masyarakat lokal. 

Photo by Azis Pradana on Unsplash