Penanganan Konflik Lahan dan Kekayaan Alam yang Inklusif
2 Desember 2024Konflik lahan dan kekayaan alam senantiasa melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan yang berbeda-beda. Untuk menyelesaikan konflik ini secara adil dan berkelanjutan, langkah pertama dan terpenting adalah melakukan pengkajian atau asesmen yang inklusif sebagai tindakan afirmatif untuk kelompok rentan dan perempuan. Asesmen ini merupakan inti dari lebih dari separuh pekerjaan dalam proses penanganan konflik yang efektif.
Namun, dalam asesmen yang dilakukan asesor atau mediator seringkali para pemangku kepentingan masih dikelompokkan secara umum, misalnya “warga masyarakat desa” dianggap sebagai satu entitas homogen, padahal, dalam masyarakat desa terdapat berbagai sub-kelompok dengan karakteristik, peran, dan kepentingan yang berbeda. Contohnya, perempuan dan laki-laki memiliki peran yang berbeda dalam pengelolaan lahan, yang menyebabkan mereka memiliki perspektif serta kebutuhan yang berbeda terhadap tanah dan sumber daya alam.
Dalam konflik lahan dan kekayaan alam, kelompok rentan seringkali menjadi pihak yang paling terdampak secara negatif. Perempuan misalnya, sering kehilangan akses kepada tanah yang mereka gunakan untuk bercocok tanam, atau kegiatan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga. Hal ini tidak hanya mempengaruhi ketahanan pangan, tetapi juga perekonomian keluarga secara keseluruhan. Sayangnya, meskipun perempuan memiliki kepentingan besar terhadap kepastian tenurial, seringkali mereka hampir tidak terwakili dalam proses pengambilan keputusan terkait resolusi konflik lahan.
Selain perempuan, kelompok rentan lainnya, seperti anak-anak, juga dapat terkena dampak negatif konflik secara signifikan. Anak-anak dapat kehilangan akses pada pendidikan atau hidup dalam kondisi tidak stabil akibat hilangnya sumber daya alam yang menopang penghidupan keluarga mereka. Demikian pula, lansia menghadapi kesulitan tambahan ketika akses pada lahan yang menjadi tumpuan dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka terkendala karena konflik.
Kelompok penyandang disabilitas juga seringkali terabaikan dalam proses penanganan konflik. Mereka mungkin memiliki keterbatasan akses kepada informasi atau tempat pertemuan, sehingga sulit menyuarakan kebutuhan mereka. Sementara itu, kelompok minoritas etnis atau budaya, termasuk masyarakat adat, sering menghadapi tantangan tambahan dalam memperjuangkan hak mereka, terutama jika mereka berada di wilayah yang secara politik dan sosial termarjinalkan.
Singkat kata, pendekatan inklusif sangat penting untuk memastikan bahwa solusi yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan semua pihak yang mungkin terdampak. Karenanya, asesor atau mediator memiliki peran kunci untuk mengenali berbagai perbedaan kepentingan di antara sub-kelompok masyarakat dengan asesmen yang secara lebih cermat mengidentifikasi semua para pemangku kepentingan serta melibatkan mereka dalam proses. Salah satu strategi adalah menyesuaikan metode partisipasi agar lebih inklusif, misalnya, pertemuan dapat diadakan pada waktu yang fleksibel di lokasi yang mudah dijangkau oleh semua pihak, termasuk perempuan, penyandang disabilitas dan lansia.
Mediator juga harus menciptakan ruang aman bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya untuk menyampaikan pendapat tanpa tekanan. Data yang dikumpulkan selama asesmen juga harus terpisah berdasarkan jenis kelamin, usia, dan status sosial untuk memastikan kebutuhan spesifik setiap kelompok teridentifikasi.