Perspektif Geospasial dalam Penanganan Konflik Agraria
30 Maret 2022Langkah awal dalam setiap usaha penanganan konflik agraria adalah memahami dengan baik objek konfliknya. Untuk itu analisis geospasial adalah salah satu alat bantu penting yang digunakan CRU dalam setiap konflik yang akan ditangani. Analisis ini memberikan informasi geospasial berupa gambaran terkini lokasi objek konflik, lokasi dan luasan klaim para pihak yang berkonflik, gambaran spasial penggunaan lahan, arahan penataan ruang daerah yang bersangkutan, serta riwayat perubahan tutupan lahan. Analisis geospasial juga dapat menggambarkan riwayat penguasaan dan klaim para pihak, dinamika regulasi dan kebijakan pusat dan daerah terkait keruangan, dinamika relasi di antara pihak-pihak yang berkonflik, serta dampak sosial, ekonomi dan ekologis konflik yang terjadi.
Peta juga bisa digunakan untuk mengidentifikasi potensi konflik pada tahap awal perencanaan proyek-proyek pembangunan. Dengan analisa geospatial konflik yang mungkin terjadi karena tumpang tindih klaim lahan pada proyek-proyek pemerintah, seperti sering diberitakan media, semestinya dapat diperkirakan dan dihindarkan dalam perencanaannya.
Potensi informasi geospasial sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian bukannya tidak disadari. Sejak diundangkannya, Undang-undang No 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, informasi geospasial sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kegiatan berbagai lembaga Negara dan organisasi yang memiliki lingkup kerja terkait pengembangan wilayah, pengelolaan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam, dan pembangunan sosial, dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai lembaga yang mengkoordinirnya. Informasi geospasial pun digunakan oleh sektor swasta dalam pengembangan usaha komersial. Seharusnya ketika konflik terjadi, semua informasi geospasial tersebut dapat digunakan sebagai dasar membangun pemahaman bersama para pihak dalam upaya penanganan konfliknya,
Namun ternyata ada berbagai kendala. Karena setiap lembaga memiliki sistem pemetaan geospasial yang sesuai peruntukan dan kegunaan bagi masing-masing lembaganya, alih-alin membantu dalam penyelesaikan konflik, perbedaan-perbedaan tersebut justru menjadi salah satu pokok konfliknya. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), misalnya, mengelola sistem perpetaan Kawasan hutan, sementara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen-PUPERA) mengelola sistem perpetaan terkait pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana umum, serta perumahan rakyat. Kemudian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kemen-ATR/BPN) mengelola perpetaan terkait bidang-bidang tanah untuk administrasi pertanahan. Selain Kementerian/Lembaga (K/L) tersebut masih ada yang lain yang juga mengelola perpetaannya sendiri-sendiri.
Beragamnya sistem perpetaan di Indonesia membawa persoalan tersendiri. Seringkali masalah terjadi ketika suatu lahan yang sama, digambarkan dengan informasi tematik yang berbeda sesuai dengan kepentingan pembuat peta. Misalnya, pada peta rupa bumi suatu wilayah ditandai sebagai wilayah karst, namun pada peta pemanfaatan sumber daya alam, wilayah tersebut ditandai sebagai wilayah yang berpotensi menjadi sumber bahan-baku industri semen. Dapat juga terjadi bahwa peta konsesi lahan tidak menunjukkan bahwa lahan yang digambarkan ternyata telah didiami oleh kelompok masyarakat. Hal ini terjadi karena proses pemberian izin konsesi lahan tidak dibarengi dengan pengecekan lapangan secara menyeluruh dengan pelibatan masyarakat setempat.
Kesimpangsiuran informasi akibat beragamnya peta, pada akhirnya mempengaruhi penentuan kebijakan strategis nasional. Untuk mengatasi hal itu, Pemerintah pun memprakarsai Kebijakan Satu Peta yang bertujuan menghasilkan satu acuan utama untuk merencanakan penggunaan dan kepemilikan lahan yang lebih lestari dan berkeadilan. Kebijakan ini juga bertujuan mengurai benang kusut data peta antar-lembaga, serta memberi kejelasan kementerian atau lembaga mana saja yang merupakan wali data setiap jenis peta. Namun, kebijakan ini belum dapat berjalan optimal.
Tantangan lain dalam penggunaan analisa geospasial adalah kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat masih mengandalkan peta mental, dimana informasi spasial serta pengetahuan mendalam mengenai suatu wilayah, termasuk batas geografis, pemanfaatan dan pengelolaannya tersimpan dalam memori warga masyarakat yang hidup dan berpenghidupan di wilayah tersebut. Keterbatasan kapasitas masyarakat untuk menuangkan pengetahuan tersebut dalam peta yang sesuai dengan kaidah kartografis menjadi persoalan tersendiri saat pengetahuan tersebut dibutuhkan ketika mereka ber konflik dengan pihak lain yang memiliki sistem perpetaan.
Namun tantangan-tantangan di atas tidak mengurangi manfaat analisa geospasial dalam membantu pemahaman konflik agraria dan lahan. Dalam pengalaman CRU, informasi spasial yang tersaji dalam suatu peta cukup efektif untuk mengidentifikasi dan mengkomunikasikan klaim atas sebidang tanah. Konflik berbasis lahan umumnya terjadi karena adanya tumbukan klaim di satu bidang tanah yang sama. Untuk membantu proses penyelesaian konflik, informasi spasial dapat membantu memperjelas objek konflik yang dipermasalahkan. Klaim satu pihak dapat dikomunikasikan melalui suatu peta yang memuat batas-batas wilayah klaimnya, dan pihak lainnya dapat melakukan pengecekan atas klaim yang diajukan tersebut. Selain itu, terbukanya akses terhadap sumberdaya citra satelit sangat membantu kajian konflik, terutama saat dibutuhkan pemahaman tentang latarbelakang sejarah penggunaan lahan dari objek konflik bersangkutan.
Saat ini juga telah banyak juga prakarsa pemetaan partisipatif, yakni pembuatan peta dimana warga masyarakat dilibatkan dan ditempatkan sebagai pelaku pemetaan wilayahnya, seperti yang didorong Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP). Masyarakat diajak untuk menuangkan informasi tentang wilayahnya dalam suatu sketsa peta. Sketsa peta itu dapat mencakup informasi tentang batas wilayah dan penguasaannya, pemanfaatan dan pengelolaan wilayahnya, dan informasi lain yang penting bagi masyarakat. Sebagai contoh, dalam proses penatabatasan desa yang difasilitasi oleh beberapa organisasi masyarakat sipil, seperti Yayasan Puter Indonesia (YPI), proses pemetaan partisipatif dilakukan bersama warga masyarakat desa-desa yang bertetangga guna menyepakati batas-batas desa . Di sini, peta menjadi alat negosiasi yang menghhasilkan peta dengan tingkat penerimaan yang tinggi sehingga mampu menjadi rujukan dalam perencanaan pembangunan, pemanfaatan kekayaan alam hingga mengurangi potensi konflik lahan.
Singkat kata, perspektif geospasial sangat membantu dalam upaya-upaya penanganan konflik agraria dan kekayaan alam, baik untuk mengidentifikasi dan mengkomunikasikan batas-batas wilayah sengketa, membangun pemahaman bersama tentang objek konflik serta konteks keruangannya, serta sebagai alat perundingan.Karenanya penggunaan peta dan analisa geospasialnya sebagai alat bantu dalam penanganan konflik perlu diperluas dengan menyediakan dukungan yang diperlukan, khususnya bagi warga masyarakat dan pihak lain yang terlibat konflik.