Selama lebih dari dua dekade, ekspansi sektor kehutanan dan perkebunan di Indonesia telah meningkatkan konflik penggunaan lahan dan kekayaan alam, serta menyadarkan masyarakat akan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari konflik tersebut. Usaha berbasis lahan harus mencakup pengelolaan konflik dari sengketa lokal hingga konflik yang memerlukan penyelesaian yudisial.
Reforma Agraria, prioritas reformasi sejak 1998, bertujuan mengatasi ketimpangan penguasaan lahan dan kerusakan lingkungan, serta menegaskan bahwa penyelesaian konflik agraria harus menyeluruh dan adil, sebagaimana ditetapkan dalam TAP MPR-RI No. IX/MPR RI/2001.
Laporan Bank Dunia 2014 mengungkap bahwa hampir 25 juta hektar hutan di Indonesia mengalami konflik akibat persaingan klaim hukum, mencakup hampir 20.000 desa. Studi tahun 2017 tentang konflik di sektor kelapa sawit menunjukkan biaya langsung konflik mencapai USD 70.000 hingga USD 2.500.000 per lokasi, atau hingga 132% dari biaya investasi tahunan per hektar. Konflik ini juga mempercepat deforestasi dan menciptakan ketidakpastian tenurial, menghambat target pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia sesuai kesepakatan iklim Paris.
Pada 2016, Presiden Joko Widodo mengadopsi reforma agraria dalam Perpres No. 45/2016 sebagai bagian dari Rencana Kerja Pemerintah 2017, meliputi penguatan regulasi, kepastian hukum, dan pemberdayaan masyarakat. Perpres No. 86/2018 menegaskan bahwa reforma agraria dilakukan melalui perencanaan dan pelaksanaan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan daya saing ekonomi global.
Terkait konteks ini, Conflict Resolution Unit (CRU) diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) pada 2015 untuk upaya pengurangan risiko konflik dan memperbaiki iklim investasi berbasis lahan.
CRU mempromosikan mediasi sebagai pendekatan efektif untuk menangani konflik agraria dan kekayaan alam, menyediakan informasi kredibel, mensponsori kajian, mendukung reformasi kebijakan, dan mengembangkan model kelembagaan untuk resolusi konflik.
Dari 2016 hingga 2020, CRU menangani 56 kasus konflik di berbagai lokasi, menyelesaikan 23 kasus dengan kesepakatan damai, yang melibatkan masyarakat desa, organisasi petani, masyarakat adat, dan perusahaan. CRU berkomitmen untuk menyelesaikan konflik agraria yang sedang berlangsung dan memastikan pengelolaan lahan berkelanjutan.
Sejak 7 Februari 2024 CRU bertransformasi dari sebuah proyek KADIN menjadi sebuah perkumpulan berbasis keanggotaan, CRU Indonesia.
Keanggotaan CRU Indonesia terdiri dari individu-individu yang memiliki beragam keahlian yang berkaitan dengan tujuan dasar CRU Indonesia, yakni mempromosikan pengurangan risiko konflik sebagai aspek fundamental dari strategi dan pendekatan yang sensitif terhadap konflik, sebagai upaya mewujudkan pembangunan yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Para pendiri CRU Indonesia secara otomatis ditunjuk sebagai Dewan Pengawas untuk organisasi tersebut. Dewan Pengawas terdiri dari Shinta W. Kamdani, Suraya A. Afiff, Kamala Chandrakirana, Ichsan Malik, Tony Budidjaja, dan Rezal Kusumaatmadja.
Dalam Rapat Umum Anggota pertama pada 7 Februari 2024, secara bulat disepakati untuk membentuk Dewan Pengurus CRU Indonesia, yang terdiri dari Arief Wicaksono (Ketua), Ilya Moeliono (Sekretaris), dan Paramita Iswari (Bendahara).
Selain itu, Rapat Umum Anggota juga telah secara resmi menyetujui Rencana Strategis untuk tahun 2024-2028, yang menguraikan tujuan strategis tertentu, mengakui pentingnya beradaptasi dengan kondisi eksternal, terutama terkait dengan kaum muda sebagai generasi masa depan.