Tantangan Menangani Konflik Saat Pemilu
28 November 2023Di balik hiruk pikuk gelombang pemilihan umum, dimana sorotan publik tertuju pada panggung politik, di balik layar, masalah konflik lahan dan eksploitasi kekayaan alam terus membara di latar belakang. Selain pertanyaan besar terkait relevansi pemilihan umum dengan masih banyaknya masalah dan konflik, para penyelenggara penanganan konflik lahan dan kekayaan alam dihadapkan pada beragam tantangan.
Pemilihan umum di Indonesia, pasca Reformasi, menjadi peristiwa yang senantiasa membanjiri ruang-ruang publik dengan atmosfer persaingan yang intens melalui beragam pendekatan. Baik itu terkait pemilihan presiden, kepala daerah maupun anggota legislatif. Poster-poster dan baliho wajah para kandidat dipasang di berbagai tempat, dengan pesan-pesan berupa janji yang akan mereka tunaikan seandainya terpilih nanti. Bahkan atmosfer persaingan telah merambah ruang privat melalui berbagai konten dalam media sosial, baik itu Facebook, Instagram, X (Twitter) maupun melalui berbagai aplikasi pesan. Berupa tidak hanya tentang janji-janji politik, tetapi ada kalanya juga upaya saling mencederai citra di antara para kontestan.
Secara normatif pemilihan umum seharusnya dapat menyediakan kesempatan untuk mengangkat isu-isu lahan dan kekayaan alam, tetapi dalam teknis pelaksanaannya, proses penanganan kasus bisa tertunda sampai selesainya pelaksanaan pemilihan umum. Hal tersebut diakibatkan oleh berbagai kerumitan dan tantangan yang dihadapi lembaga-lembaga penanganan konflik, yang diantaranya harus menjaga etika dan prinsip-prinsip penanganan yang netral dan imparsial, serta harus mengupayakan dialog yang kondusif antara pihak-pihak yang berkonflik.
Salah satu dari berbagai tantangan dan kerumitan yang dihadapi lembaga penanganan konflik adalah regulasi Pemerintah yang membatasi kesempatan berkumpul yang tidak ada kaitannya dengan pemilihan umum. Meskipun tantangan ini masih dapat direspon secara kreatif melalui pendekatan kaukus dalam menggali aspirasi dan kepentingan para pihak, serta negosiasi berjenjang, atau bahkan menggunakan media dalam jaringan (daring), tetapi ruh proses sosial dari sebuah dialog untuk menemukan solusi bersama, akan berkurang. Hal ini merupakan salah satu pembelajaran dari pengalaman selama pandemi Covid-19 selama dua tahun. Pertemuan tatap muka atau luar jaringan (luring) tetap menjadi pilihan yang tidak tergantikan.
Selain itu, pemilihan umum dapat memecah belah masyarakat menjadi kelompok-kelompok dengan pandangan politik yang berbeda. Imbasnya, walaupun tidak langsung berkaitan dengan pokok konfliknya, polarisasi tersebut mempersulit upaya untuk mencapai konsensus dalam penyelesaian konflik lahan dan kekayaan alam. Bukan tidak mungkin, para anggota salah satu pihak yang berkonflik memiliki pilihan politik yang berbeda, yang mungkin akan mempengaruhi soliditas mereka ketika harus berhadapan dan bernegosiasi dengan pihak berkonflik lainnya. Hal itu juga dapat diperparah apabila ada upaya pihak-pihak tertentu menggunakan isu konflik tersebut sebagai komoditas politik selama pemilihan umum.
Tantangan yang tidak kalah penting terkait ketidakpastian pasca pelaksanaan pemilihan umum. Ketidakpastian ini terutama menyangkut koridor regulasi dan legitimasi kesepakatan damai para pihak serta prospek pelaksanaannya dari pokok konflik yang dibahas dan dinegosisasikan. Apakah pemerintahan hasil pemilihan umum akan melanjutkan kebijakan periode sebelumnya, atau akan melahirkan kebijakan-kebijakan baru, yang, baik langsung maupun tidak langsung, berpengaruh pada isu-isu lahan dan kekayaan alam? Hal ini dapat menimbulkan keraguan para pihak yang berkonflik untuk mencari jalan keluar dari pokok konflik yang dihadapi.
Meskipun tantangan-tantangan tersebut dapat direspon secara adaptif dan kreatif oleh lembaga penanganan konflik, tetapi belajar dari pengalaman, dapat dikatakan masa-masa dilaksanakannya pemilihan umum tidak kondusif untuk menyelenggarakan kegiatan teknis proses penanganan konflik lahan dan kekayaan alam. Lembaga penanganan konflik dapat berunding dengan para pihak untuk menunda kegiatan hingga pelaksanaan pemilihan umum selesai dengan menjelaskan tantangan-tantangan dan kerumitan-kerumitan di atas.
Ilustrasi foto oleh Weny Lisa.